Bisnis.com, MANADO – Bank Indonesia memproyeksi perekonomian Sulawesi Utara pada tahun ini akan tumbuh lebih baik dibandingkan capaian tahun lalu. Namun, pertumbuhan tersebut masih akan berada di bawah potensinya.
Soekowardojo, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Utara (Sulut) memperkirakan ekonomi Bumi Nyiur Melambai pada 2018 akan tumbuh 6,2%-6,6%, meningkat dibandingkan capaian tahun lalu sebesar 6,32%.
“BI meyakini pertumbuhan ekonomi Sulut 2018 akan lebih baik, tapi masih di bawah potensinya karena seharusnya masih bisa di atas 7%,” ujarnya dalam Asesmen & Outlook Sulut 2018, Rabu (22/3/2018).
Menurutnya, masih berada di bawah angka potensialnya pertumbuhan ekonomi Sulut selama ini dikarenakan ketergantungan provinsi pada sektor ekstraktif, berupa bahan mentah dan setengah jadi.
Walhasil, meskipun berada di atas capaian nasional, pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Sulut masih terendah dibandingkan wilayah lain di Sulawesi. Padahal, economy size Sulut mencapai Rp100,5 triliun, terbesar ke-3 di pulau yang dikenal dengan sebutan Celebes ini.
Proyeksi Otoritas Moneter pada tahun ini juga menyuratkan adanya beberapa tantangan yang membayangi ekonomi nasional. Dari eskternal ada risiko pengetatan kebijakan moneter di negara maju, kebijakan dagang Amerika Serikat, kenaikan harga minyak, dan geopolitik.
Baca Juga
Dari sisi domestik, BI melihat masih ada risiko belum kuatnya konsumsi rumah tangga dan intermediasi perbankan. Khusus untuk Sulut, Soekowardojo melihat risiko bersumber dari permasalahan di infrastruktur, seperti pembebasan lahan dan pasokan listrik.
Selain itu, risiko lain terkait potensi terganggunya manajemen dan administrasi pemerintah daerah sebagai dampak pemilihan kepala daerah (Pilkada) kabupaten/ kota. Walaupun, di sisi lain, Pilkada di 6 kabupaten/kota berpotensi meningkatkan pengeluaran konsumsi.
Dari sisi permintaan, penopang laju produk domestik regional bruto (PDRB) Sulut tahun ini berada pada konsumsi rumah tangga dan ekspor. Untuk konsumsi rumah tangga, selain efek Pilkada, ada kenaikan UMP dan penyaluran rastra yang tidak dipungut biaya.
Sementara, untuk ekspor, ada dorongan harga internasional coconut oil (CNO) yang diestimasi tumbuh 10% pada tahun ini. Selain itu, produksi industri pengolahan juga masih mengalami pertumbuhan cukup tinggi.
Dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi Sulut pada 2018 akan didorong dari pertanian, perdagangan, dan transportasi. Peningkatan transportasi ini, sambungnya, dikarenakan ada kenaikan jumlah wisatawan mancanegara (wisman).
Deputi Direktur Bidang Advisory dan Pengembang Ekonomi Kantor Perwakilan BI Sulut MHA Ridhwan mengatakan untuk memaksimalkan ruang potensi PDRB Sulut, pemerintah daerah perlu fokus pada hilirisasi dan pembangunan infrastruktur baik fisik maupun manusia.
“Selain itu, kami memberikan masukan untuk mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru, terutama di sektor jasa pariwisata. Memang [pariwisata] sudah berkembang, tapi belum terintegrasi dan well managed,” tuturnya.
Keunggulan geografis yang dimiliki Sulut harus dimanfaatkan. Pasalnya, letak geografis Sulut di bibir Pasifik menjadi modal utama untuk dikembangkan sebagai hub pariwisata Kawasan Timur Indonesia dengan konsep continuous trip. Hal ini tetap perlu konektivitas domestik.
Sejak Juli 2016, perkembangan jumlah kunjungan wisman ke Sulut meningkat signifikan sejalan dengan dibukanya rute penerbangan charter dari 8 kota di China ke Manado. Peningkatan diestimasi akan terus berlanjut hingga 526.000 wisman di tahun 2030.
UKM
Franky Manumpil, Kepala Biro Perekonomian dan SDA Provinsi Sulut mengatakan untuk memaksimalkan potensi pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah memang akan mengembangkan industri pariwisata.
“Karena itu akan berdampak pada tenaga kerja di bidang pertanian, perikanan, dan UKM,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Sekdaprov Edwin Silangen mengatakan sektor koperasi dan UKM menjadi aspek yang penting untuk memajukan ekonomi daerah. Apalagi, jumlah koperasi di Sulut mencapai 4.000-an.
Oleh karena itu, menurut Silangen, untuk semakin memajukan perekonomian daerah melalui sektor koperasi dan UKM diperlukan sinergitas antarpemangku terkait. Apalagi jumlah koperasi di Sulut mencapai 4.000 koperasi.
“Koperasi adalah pilar ekonomi nasional selain dari sektor swasta dan BUMN. Koperasi juga mampu bertahan di tengah krisis dan mampu menunjang pertumbuhan perekonomian,” kata Edwin.