Bisnis.com, JAKARTA -- Dalam 10 tahun terakhir, tercatat 5 orang buruh migran asal Indonesia dieksekusi mati oleh Pemerintah Arab Saudi.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah di sela-sela aksi protes di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Arab Saudi di Indonesia, Selasa (20/3/2018).
Ironisnya, lanjut dia, eksekusi mati dilakukan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada perwakilan Indonesia yang ada di Arab Saudi. Pemerintah Arab Saudi dinilai tidak memiliki tata krama dengan melakukan eksekusi tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah Indonesia.
Untuk itu, lima lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) dan buruh migran yakni Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia (SMBI), Jaringan Buruh Migran (JBM), Human Rights Working Group (HRWG), dan Komisi Migran KWI, melakukan aksi protes di depan Kedubes Arab Saudi di Indonesia di Jakarta.
"Kenapa kita aksi untuk memprotes Arab Saudi? Karena dalam 10 tahun terakhir, 5 buruh migran Indonesia dieksekusi mati di Arab Saudi yaitu Irianti, Ruyati, Siti Zaenab, Karni, dan yang terakhir Zaini Misrin. Ini dilakukan tanpa selembar notifikasi pun kepada Pemerintah indonesia melalui perwakilan kita di sana," ungkap Anis.
Dia khawatir jika hal ini terus didiamkan maka akan menjadi preseden yang buruk dalam membangun relasi diplomatik dengan negara lain. Apalagi pada kasus Zaini, Presiden RI Joko Widodo telah mengirimkan surat sebanyak dua kali kepada Raja Arab Saudi untuk meminta penangguhan hukuman mati.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia juga telah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) karena ditemukannya dua saksi kunci. Permohonan PK sudah diterima otoritas terkait pada 6 Maret 2018.
"Artinya, [Arab Saudi] tidak menghormati negara lain, di mana kita juga lihat sisi lain Jokowi memiliki hubungan yang baik dengan Raja Arab Saudi. Sehingga, ini adalah bentuk teguran kami sebagai masyarakat sipil terhadap Pemerintah Arab Saudi," lanjut Anis.
Muhammad Zaini Misrin adalah TKI asal Bangkalan, Madura yang divonis hukuman mati atas tuduhan membunuh majikannya pada 2004. Kasus tersebut baru diketahui oleh Pemerintah RI empat tahun kemudian, tepatnya pada 2008, ketika vonis hukuman mati sudah dijatuhkan.