Bisnis.com, MEDAN — Daya saing industri dalam negeri, khususnya di Sumatra Utara, menghadapi sejumlah tantangan. Inflasi, suku bunga tinggi, serta nilai tukar rupiah merupakan tantangan yang harus dihadapi.
“Investasi membaik tetapi pertumbuhannya tidak signifikan. Kita bersyukur dengan 16 paket ekonomi, tapi secara signifikan secara nyata khususnya di Sumatra Utara belum berdampak secara besar,” ungkap Kepala Perencanaan Pembanguna Daerah Sumatra Utara, Irman, Rabu (7/3/2018).
Secara struktur, Irman mengatakan bahwa sektor usaha pertanian, kehutanan dan perikanan masih menjadi penopang utama ekonomi Sumatra Utara dengan andil hingga 21,40% per 2017, disusul Industri Pengolahan sebesar 20,29%. Adapun inflasi pada tahun yang sama tercatat lebih rendah dibanding inflasi nasional.
Irman juga menyebutkan, untuk melakukan pemulihan industri dalam negeri, ada dua jenis pendekatan yang bisa dipakai. Pendekatan dimaksud adalah melalui proses berbasis pasar atau menarik investasi berdasarkan bahan baku yang tersedia dan bisa dikembangkan.
Investasi, lanjutnya, memang mengalami penaikan. Namun, jika didalami, jumlah penanaman modal asing cenderung menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Walaupun, ujarnya, penanaman modal dalam negeri meningkat.
Sementara itu Deputi Pengkajian Strategik Lemhanas RI Djagal Wiseso Marseno menyebutkan perekonomian Indonesia yang selama ini dinilai berbasis komoditas dipandang perlu melakukan akselerasi perubahan ke arah ekonomi berbasis industri dengan nilai tambah.
Baca Juga
Saat ini, perubahan ke arah ekonomi berbasis industri yang memberikan nilai tambah dianggap berjalan lamban karena sejumlah tantangan.
“Ketahanan dalam bidang ekonomi, salah satu pilarnya adalah bidang industri. Industri yang ada sekarang ini kan yang manufakturnya lemah. Misalnya, komoditi diekspor begitu saja tanpa ada sentuhan niai tambah.,” kata Deputi Pengkajian Strategik Lemhanas RI Djagal Wiseso Marseno kepada Bisnis.
Hal itu disampaikannya usai Focus Group Discussion bertema Akselerasi Transformasi Ekonomi Berbasis Industri Manufaktur Guna Meningkatkan Kemandirian dan Daya Saing Dalam Ranga Ketahanan Nasional.
Pada kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Ekonomi Lemhanas RI Miyasto menyebutkan tujuan diadakannya FGD ini berangkat dari ekonomi Indonesia yang masih berbasis komoditas, belum pada pengetahuan atau knowledge.
Selain itu, struktur ekonomi kita juga dia nilai masih rapuh karena hampir sebagian besar intermediary goods yang dibutuhkan industri untuk memproduksi bahan jadi bernilai tambah tinggi.
Miyasto juga menilai bahwa perekonomian Indonesia saat ini belum maksimal dalam memberikan dukungan bagi kesempatan kerja yang terbuka luas, berdaya saing rendah, serta belum mandiri.
“Ini menunjukkan ekonomi kita cukup rentan terhadap dinamika atau gejolak ekonomi dunia. Begitu ekonomi dunia bergejolak yang berdampak pada dolar, terjadi gejolak pada ekonomi nasional,” katanya.
Adapun yang menjadi kendala dalam tranformasi ini antara lain sinergi kebijakan antara pemerintah pusat, daerah, dan antarsektor yang belum sepenuhnya terjalin, budaya konsumtif yang masih mengakar, serta komitmen untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah yang dianggap masih kendur.