Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

'Cebong' dan 'Onta', Buntut Pilpres dan Pilkada yang Terus Gaduh di Media Sosial

Yang gue suka dari bong, mereka sahut-sahutan. Saling menutupi kedunguan. Makin riuh makin dungu. Unik banget. Itu yang disebut cacophony. Asbun (asal bunyi) tetapi ceria. Cuitan tersebut di-retweet lebih dari seribu kali dan disukai oleh lebih dari dua ribu akun.
Proklamasi media sosial/dokumentasi
Proklamasi media sosial/dokumentasi

Bisnis.com, JAKARTA - “Yang gue suka dari bong, mereka sahut-sahutan. Saling menutupi kedunguan. Makin riuh makin dungu. Unik banget. Itu yang disebut ‘cacophony’. Asbun (asal bunyi) tetapi ceria.”

Kutipan tersebut diucapkan oleh pengajar di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Rocky Gerung melalui akun twitter-nya pada 24 Januari 2018. Cuitan tersebut di-retweet lebih dari seribu kali dan disukai oleh lebih dari dua ribu akun.

Cuitannya tersebut ditujukan kepada para ‘bong’ atau ‘cebong’ yang membanjiri akun media sosialnya. Rocky adalah salah selama ini cukup sering menghadapi komentar para cebong tersebut yang selalu hadir ketika dia bercuit tentang apapun, dari mulai politik sampai hukum.

Dalam dunia media sosial, sebutan ‘cebong’ digunakan untuk menyebut golongan pro-Presiden Joko Widodo. Selain itu, ada pula golongan yang disebut sebagai ‘onta’. Nama ini ditujukan untuk menyebut golongan islamis yang sering kali bersitegang dengan para ‘cebong’ di media sosial.

“Saya bukan orang yang cukup sering menghadapi mereka, tetapi terlalu sering! Ada yang setiap saya nge-tweet selalu muncul. Heran juga ini orang tidak tidur apa,” katanya.

Kolom komentar atau balasan di media sosial saat ini kadang kala menyajikan hiburan yang lebih menarik dari konten atau unggahan sebenarnya. Warganet sering kali saling melontarkan komentar tak bermutu, menciptakan keriuhan yang disebut Rocky sebagai cacophony.

Rocky menjelaskan cacophony adalah lawan kata dari harmoni. Dia menilai sahut-sahutan tersebut bagaikan permainan musik yang kacau, tanpa partitur, tetapi tetap kompak dan disenangi para pemainnya. Perdebatan di media sosial adalah cacophony.

“Seperti anak-anak yang merasa menciptakan musik dengan memukul-mukul meja. Kalau anak kecil kan tidak apa-apa, tetapi ini dilakukan oleh orang dewasa, di media sosial mereka. Ini yang saya maksud cacophony,” katanya.

Sama halnya dengan Rocky, ahli sosiologi Monash University, Australia Ariel Heryanto juga sering menghadapi golongan netizen yang sama. Sering kali dia harus berdebat dengan mereka. Sayangnya debat sering kali tak setara, lawannya datang tanpa data, ataupun pengetahuan yang setara.

“Tidak ada masalah, itu risiko memasuki ruang publik. Kalau kita jalan ke ruang terbuka untuk umum, sangat mungkin ada debu atau lalat yang nempel. Jadi ya, tidak apa-apa, mereka [warganet] tidak akan membunuh saya,” tuturnya.

Ariel berpendapat, kemunculan golongan ‘cebong’, ‘onta’, dan lain sebagainya di media sosial disebabkan oleh situasi politik yang memanas beberapa tahun ke belakang. Peristiwa politik yang paling berdampak terhadap adalah Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubenur DKI Jakarta 2017.

Fenomena perdebatan di media sosial sendiri sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Menurut Ariel, bedanya perdebatan di Indonesia hanya berfokus pada permasalah yang itu-itu saja. Hanya berkutat dalam persoalan agama, gubernur, dan presiden.

“Di masa-masa tertentu, yakni ketika terjadi pengerucutan konflik, banyak orang cenderung berpikir secara hitam-putih dan bicara  secara karikatural. Semua disederhanakan jadi persoalan masalah moral antara yang dianggap serba baik lawan serba buruk,” terangnya.

Berbeda dengan di luar negeri, media sosial lebih banyak digunakan untuk membahas isu-isu yang lebih luas dan lebih berdampak kepada masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, media sosial jadi saluran kampanye dengan berbagai tagar seperti #MeToo, #BlackLivesMatter, #OscarSoWhite, dan sebagainya.

Melihat kondisi ini Rocky berpendapat masalah utamanya bukan hanya ada pada masyarakat, tetapi pada media massa dan elit politik yang ada di Indonesia. Media massa selama ini menurutnya lebih banyak menyalurkan informasi yang berpusat pada politik di istana dan DPR saja.

“Para elit juga tidak mampu memberikan isu-isu atau topik lain yang mengundang publik untuk berkomentar. Jadi ya isunya hanya itu-itu saja,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper