Kabar24.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi menerima dua berkas permohonan uji materi UU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17/2017 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MD3. Padahal, beleid tersebut belum diundangkan dan memiliki nomor.
Pasalnya, Presiden Joko Widodo belum mengesahkan UU MD3 sejak disetujui bersama dengan DPR pada 12 Februari 2018. Permohonan pertama dilayangkan pada 13 Februari 2018 oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dengan menggandeng kuasa hukum Firma Hukum Sidin Constitution pimpinan Irmanputra Sidin. Namun, FKHK memperbaiki berkas permohonan dengan memasukkan gugatan baru pada Jumat (23/2/2018).
MK juga menerima satu lagi berkas permohonan uji konstitusionalitas UU MD3. Gugatan dilayangkan oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dan Raja Juli Antoni.
Baik FKHK maupun PSI sama-sama menggugat pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 yakni Pasal 73 ayat (3) dan (4) tentang mekanisme pemanggilan paksa setiap orang yang mangkir dari pemanggilan DPR, Pasal 122 mengenai langkah hukum terhadap penghina kehormatan anggota dan kelembagaan DPR.
Selain itu, Pasal 245 ihwal pemeriksaan wakil rakyat yang mesti didahului pertimbangan Mahkamah Kehormatan DPR.
“Bahwa ketentuan Pasal a quo UU MD3 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tulis FKHK dalam berkas permohonan yang diajukan di Jakarta, Jumat (23/2/2018).
Baca Juga
Sampai saat ini, belum ada sinyal dari Presiden Jokowi untuk meneken pengesahan UU MD3. Tanpa tanda tangan RI-1, UUD 1945 menyebutkan sebuah UU baru sah 30 hari setelah beleid disetujui bersama antara Presiden dengan DPR alias pada 14 Maret 2018.
Setelah sah, UU wajib diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia guna mendapatkan penomoran. Sebuah UU baru dapat menjadi objek gugatan di MK setelah diundangkan.