Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

POLITIK ANGGARAN DI AS : Sentimen Shutdown Hanya Sesaat

Pelaku pasar lagi-lagi harus memperoleh sentimen dari Washington berupa government shutdown. Akan tetapi, dampak kejadian tersebut diperkirakan tidak akan terlalu memengaruhi investor, yang sedang terbuai dengan rekor di Wall Street.
Ilustrasi/Reuters-Joshua Roberts
Ilustrasi/Reuters-Joshua Roberts

Pelaku pasar lagi-lagi harus memperoleh sentimen dari Washington berupa government shutdown. Akan tetapi, dampak kejadian tersebut diperkirakan tidak akan terlalu memengaruhi investor, yang sedang terbuai dengan rekor di Wall Street.

Para pengamat dan investor mengatakan, peristiwa government shutdown yang terjadi akhir pekan lalu dipastikan akan membuat pasar tetap ‘menoleh’ ke Washington. Hal itu menjadi sebuah pemakluman karena peristiwa tersebut memenuhi halaman utama di sejumlah media massa besar.

“Saya tidak terlalu khawatir dengan government shutdown. Butuh waktu berminggu-minggu agar produk domestik bruto (PDB) AS atau pendapatan nasional terpengaruh oleh kejadian itu,” kata Jurien Timmer, Kepala Analis Makrekonomi Global di Fidelity Investment, seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (21/1).

Timmer mengatakan, para pelaku pasar sedang menikmati fenomena yang terjadi di Wall Street selama sepekan terakhir. Pasalnya, indeks saham gabungan AS berhasil melonjak selama 10 hari berturut-turut dalam 13 hari terakhir.

Pada Jumat (19/1), indeks S&P 500 bahkan mengukir rekor tertingginya selama satu tahun terakhir di tengah memuncaknya kebuntuan mengenai persetujuan anggaran di legislatif dan eksekutif AS. Kala itu, indeks tersebut menembus 2.810,30 atau naik 24,06% dalam setahun terakhir.

Barlays Plc. Melalui risetnya memperkirakan, government shutdown akan memangkas setidaknya 0,1% pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I/2018. Tekanan tersebut masih relatif dapat ditoleransi di tengah perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS yang diprediksi oleh ekonom Bloomberg menembus 2,8% pada Januari-Maret 2018.

Berdasarkan kondisi yang pernah terjadi pada masa lalu, peristiwa government shutdown pun tak selalu menghadirkan tekanan yang besar pada pasar AS maupun global. Neil Dutta, Kepala Ekonom AS di Renaissance Macro Research, menyebutkan bahwa ketika government shutdown terjadi pada Oktober 2013, pertumbuhan ekonomi AS tetap menunjukkan kekuatannya.

Peristiwa yang terjadi ketika rezim Barack Obama tersebut tercatat terjadi selama 16 hari. Namun, pada kuartal IV/2013, laju pertumbuhan ekonomi AS tetap mampu menembus 4%, kendati lebih rendah 0,3% dari prediksi awal.

“Memang, banyak karyawan di kantor pemerintahan akan dipaksa cuti dan tidak dibayar. Namun, tekanan seperti apa pun yang terjadi karena government shutdown, biasanya akan dapat dipulihkan dengan cepat setelahnya,” katanya.

Riset dari Dutta tersebut diperkuat pula oleh laporan dari LPL Financial Research. Dalam 18 kali government shutdown yang terjadi selama 42 tahun terakhir, rata-rata dampak kepada indeks S&P 500 mendekati level 0%.

Salah satu hal yang membuat optimisme bakal terjadi pada pelaku pasar pekan depan adalah munculnya tren keuntungan yang diperoleh korporasi AS selama periode laporan keuangan yang diumumkan pada bulan ini. Dorongan positif lain juga muncul dari keuntungan yang bakal diperoleh perusahaan AS dari kebijakan reformasi perpajakan AS yang telah disetujui.

Pondasi yang kuat bagi pasar AS dan global juga datang dari dana global yang masuk ke pasar saham yang mencapai US$58 miliar selama 4 pekan terakhir. Berdasarkan data dari Bank of America Corp. dana sebesar US$23,9 miliar masuk pada pekan lalu dan sebagian besar mengalir ke AS.

“Ketika belajar dari peristiwa masa lalu, government shutdown selama 3 hari, cenderung tidak berarti apapun bagi pasar,” kata Scot Lance, managing director California Titus Wealth Management.

Pergulatan Legislatif AS

Sementara para pelaku pasar menunjukkan ketenangannya dalam menghadapi government shutdown, para pejabat pemerintahan AS justru terus menunjukkan ketegangannya. Proses perundingan di tingkat Senat AS diperkirakan dilanjutkan dengan tensi yang tinggi pada Senin (22/1) waktu setempat.

Adapun ketegangan meningkat setelah senator Partai Demokrat menolak menyetujui proposal pendanaan jangka pendek yang diajukan oleh DPR AS. Langkah senator partai pengusung Hillary Clinton dalam pemilu 2016 tersebut pun mendapat dukungan dari segelintir senator Partai Republik.

Alhasil, hasil jajak pendapat di Senat AS gagal mencapai kuorum karena pendukung proposal dari DPR AS tak lebih dari 60 orang. Sebagai gambaran, tiga dari 51 senator Partai Republik menyatakan untuk tidak mendukung RUU tersebut.

Hal itu membuat Partai Republik mau tak mau harus merayu setidaknya 12 senator Partai Demokrat untuk mendukung langkah mereka. Pasalnya, RUU dapat diloloskan ketika suara yang terkumpul mencapai 60 orang. Namun, upaya Republikan rupanya gagal, sehingga proposal tersebut mandek di Senat AS.

Tercatat pada Sabtu (20/1), perundingan sengit terjadi antara Pemimpin Mayoritas Senat dari partai Republik Mitch McConnell dan Pimpinan Senat Minoritas dari Partai Demokrat Chuck Schumer. Namun, proses tawar-menawar tersebut tetap gagal membuahkan hasil.

Alhasil, McConnel pun mengatakan, dirinya akan memaksa terjadinya perundingan kembali secepatnya pada Senin (21/1) pukul 00.01 waktu setempat. Dia mengaku bakal berusaha membuat Senat setidaknya menyetujui proposal pendanaan jangka pendek yang diusulkan oleh DPR AS.

Namun, dia mengatakan pihaknya akan tetap berusaha membuat program perlindungan kepada imigran muda (DREAM), tidak dimasukkan dalam persyaratan disetujuinya pendanaan jangka pendek.

Seperti diketahui, senator dari Partai Republik terus menawarkan opsi-opsi baru kepada Partai Demokrat. Salah satu opsi tersebut adalah untuk memperpendek waktu pendanaan dari awalnya hingga 16 Februari menjadi hanya sampai 8 Februari 2018.

“Kami akan segera kembali ke Senat sepagi mungkin selama dibutuhkan. Ini penting agar dana bagi operasional pemerintahan tetap mengucur,” katanya.

Sementara itu, Chuck Schumer, justru menyalahkan Gedung Putih karena tidak langsung sigap ikut mengatasi masalah ini. Hal itu dibuktikannya dari keputusan Presiden AS Donald Trump, yang tidak berusaha memanggil pejabat legislatif ke Gedung Putih untuk berunding kembali. (Bloomberg/Reuters)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yustinus Andri
Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper