Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perwira Tinggi TNI Polri Ikut Pilkada, Bertentangan dengan Regulasi

Direktur Imparsial Al Araf mengatakan seharusnya partai politik mencegah pencalonan perwira TNI dan Polri aktif dalam pilkada serentak 2018
Bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat TB Hasanuddin (kiri) dan Anton Charliyan (kanan) mengepalkan tangan saat pengumuman cagub-cawagub PDIP di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (7/1). PDIP resmi mengumumkan para cagub dan cawagub enam provinsi yakni provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur pada Pilkada 2018. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat TB Hasanuddin (kiri) dan Anton Charliyan (kanan) mengepalkan tangan saat pengumuman cagub-cawagub PDIP di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (7/1). PDIP resmi mengumumkan para cagub dan cawagub enam provinsi yakni provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur pada Pilkada 2018. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Imparsial Al Araf mengatakan seharusnya partai politik mencegah pencalonan perwira TNI dan Polri aktif dalam Pilkada Serentak 2018.

Seperti diketahui, Pilkada serentak 2018 ‘dihiasi’ dengan pencalonan perwira TNI dan Polri yang dinilai masih aktif. Sebabnya sudah membina hubungan dengan partai politik dan melakukan aktifitas politik kendati belum resmi mengundurkan diri dari institusi tersebut.

Menurutnta, regulasi terkait hal itu sudah jelas. Bahkan dia menilai, tindakan tersebut mencederai semangat reformasi 1998 di mana partai politik atas nama supremasi sipil mengembalikan kembali TNI dan Polri kepada tugas utamanya, jauh dari politik praktis.

Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pada Pasal 39 Ayat 2 yang berbunyi, prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.

Ada pula Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi, kepolisian negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Dia menilai, celah dalam regulasi pemilu pula yang memberikan jalan sehingga masalah ini terjadi. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang atau UU Pilkada mengatur bahwa anggota TNI dan Polri mengajukan pengunduran diri secara tertulis sejak ditetapkan sebagai pasangan calon pilkada.

Komisi Pemilihan Umum alias KPU pun pada pertengahan tahun lalu menerbitkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menyebut, ketika mendaftar bakal calon hanya melampirkan pernyataan kesediaan mengundurkan diri. Adapun, keputusan pengunduran diri dari atasan harus diberikan 30 hari menjelang pencoblosan.

“Sehingga ke depan kami akan mendesak UU Pilkada dan Peraturan KPU tersebut direvisi. Karena sudah jelas aturannya dalam UU TNI dan Polri. Harus ada hukum yang tegas dan transparan baik dari kedua institusi maupun penyelenggara pemilu” ujarnya, di kantor Kontras, Selasa (9/1).

Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar angkat bicara. Menurutnya, maraknya anggota TNI dan Polri terjun ke dalam politik praktis, selain karena gagalnya kaderisasi dalam tubuh partai politik, juga adanya ketidkapercayaan kepada sipil untuk memimpin eksekutif.

“Ini mencerminkan lambatnya konsolidasi demokrasi setelah 20 tahun reformasi. Supremasi sipil belum menjiwai di masyarakat kita. Masyakat berpikir mereka layak di posisi pemimpin sipil,” tuturnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, akan menjadi dilematis jika regulasi UU TNI dan Polri serta UU Pilkada dan Peraturan KPU diterapkan dalam masalah ini. Dia menilai, penyelenggara pemilu memiliki aturan sendiri, pun demikian dengan kalangan militer yang mempunyai pengadilan berbeda.

Dia pun mengamini ke depan UU Pilkada meupun Peraturan KPU harus direvisi. Di sisi lain, dia menyarankan, setidaknya anggota TNI dan Polri harus sudah tidak aktif minimal satu tahun jika ingin terjun dalam dunia politik praktis. Jeda waktu tersebut dinilai sudah bisa menghapus pengaruh dan keterikatan dengan institusi.

Oleh karena itu, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhani menyebut dalam hal ini yang harus dijadikan rujukan adalah UU TNI dan Polri bukan UU Pilkada atau Peraturan KPU.

“Ini harus dipahami rujukannya bukan UU Pilkada tapi UU TNI dan Polri itu sendiri. Siapa yang ingin mengikuti politik praktis harus meletakan senjata dan seragamnya terlebih dahulu, ini supremasi sipil,” tegasnya.

Menurut dia, dalam hal ini partai politik paham betul regulasi tersebut. Sehingga sudah seharusnya partai politik memastikan status dari anggota TNI dan Polri yang ingin terjun dalam politik praktis.

Dia pun menyoroti masalah ini sebagai lemahnya pengawasan di tubuh TNI dan Polri. Bahkan, kata dia, ada pula perwira TNI dan Polri yang sudah berseragam partai belum mendapat respon dari internal institusinya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper