Kabar24.com, JAKARTA—Politik identitas masih akan menjadi ancaman bagi pesta demokrasi pilkada serentak 2018 dan pemilu legislatif serta presiden 2019. Masalah demokrasi tersebut disinyalir disebabkan beberapa hal.
Pengamat politik dari Esposit Strategic Arif Susanto menjabarkan ada empat yang membuat politik identitas tumbuh subur. Pertama, hal itu muncul karena adanya kesenjangan ekonomi.
Dia menyebut, dari catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), daerah yang rawan adalah yang memiliki kesenjangan ekonomi tinggi.
“Jakarta tiga tahun terakhir sebelum pilkada yang lalu gini ratio-nya naik. Sehingga ini adalah persemaian subur bagi politik kebencian berbasis identitas,” katanya, Selasa (26/12).
Berikutnya, karena rendahnya literasi politik dan literasi komunikasi. Menurutnya, saat ini tidak banyak yang paham bahwa politik adalah moderasi konflik. Fungsi politik adalah membuat konflik lebih moderat.
Saat ini, tingkat kecerdasan politik masyarakat masih lemah. Hal itu diperparah alpanya partai politik dalam melakukan edukasi. Dia pun menyebut, salah satu instrumen untuk menyebarkan politik kebencian adalah media sosial.
Tanpa literasi komunikasi, orang gagal membandingkan opini dan fakta. Saat ini penyebarluasan kabar bohong dengan konstruksi sedemikian rupa sianggap sebagai berita.
Ketiga, karena buruknya kelembagaan politik yang menjadi masalah laten di Indonesia. Partai politik, kata dia, cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elit.
“Mereka gagal memberikan distribusi kekuasaan. Penentuan kepala daerah justru pada DPP tanpa menimbang DPD. Konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konfliknya akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut,” tuturnya.
Terakhir, lanjutnya, karena adanya polarisasi politik. Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elit politik untuk memicu konflik yang menyebabkan pembelahan.
Dia menilai, ketegangan politik karena politik identitas ada kemungkinan terus berkembang di tahun politik. Seharusnya, dalam kondisi politik yang ideal, ketegangan di level massa bisa diambil alih oleh elit supaya tidak terjadi benturan horizontal.
“Di negara kita, kalau elit berkonflik, massa juga harus berkonflik. Massa tidak lebih dari political spectator, penonton politik. Konflik politik tidak selesai-selesai,” ujarnya.