Kabar24.com, JAKARTA – Mahkamah Agung tetap meyakini pemberlakuan hukuman mati efektif memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana luar biasa semisal narkotika.
Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung (MA) Suharto menolak anggapan bahwa pelaksanaan hukuman mati gagal menekan pertumbuhan kejahatan narkotika. Pasalnya, menurut dia, tuntutan maupun putusan hukuman mati tidak diberikan terhadap seluruh kejahatan bidang narkotika.
Tingkat berat-ringan hukuman bervariasi sesuai pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun UU No.35/2009 tentang Narkotika. Suharto mengatakan efektivitas hukuman mati terbukti manakala jenis pidana yang diputus hukuman maksimal tersebut telah berkurang.
“Apabila hukuman mati pasalnya x, sementara semua kejahatan narkotika dibilang tidak reda, barangkali itu kesimpulan sangat prematur,” ujarnya dalam acara Politik Kebijakan Hukuman Mati dari Masa ke Masa di Jakarta, Selasa (19/12/2017).
Pernyataan Suharto merupakan tanggapan atas pendapat Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya Asmin Fransiska bahwa sejak UU Narkotika diundangkan pada 2009, kejahatan narkotika justru meningkat 55% per tahun lalu.
Dia juga menyitir data terbaru bahwa pidana narkotika pada tahun lalu sebanyak 41.000 kasus atau naik hampir 20% dari 2015.
Baca Juga
“Padahal harapannya ketika UU Narkotika terbit kejahatan bisa turun karena retorikanya adalah perang terhadap obat-obatan,” katanya di tempat yang sama.
Asmin menilai lonjakan kejahatan narkotika merupakan bukti inefektivitas hukuman mati. Saat ini, Indonesia merupakan satu dari 10 negara di dunia yang masih mewajibkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan narkotika.
Polemik hukuman mati telah berlangsung selama beberapa dekade dan memuncak manakala Kejaksaan Agung hendak mengeksekusi terpidana. Namun, pemerintah dan parlemen memilih untuk tetap mempertahankan hukuman mati dalam rezim peradilan pidana Indonesia.
Perumus RUU tentang KUHP Muladi mengatakan hukuman mati masih berlaku, tetapi klasifikasinya berubah dari hukuman pokok menjadi hukuman bersyarat. Nantinya, pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda selama masa percobaan 10 tahun.
Para terpidana mati bisa mendapatkan hukuman percobaan antara lain apabila reaksi penolakan masyarakat tidak terlalu besar dan terpidana menunjukkan rasa menyesal. Bila syarat terpenuhi maka hukuman mati dapat dikurangi menjadi hukuman penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun.
“Asalkan, selama masa percobaan yang bersangkutan menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji,” ujarnya.
Mantan Menteri Kehakiman ini mengatakan klasifikasi hukuman mati sebagai hukuman bersyarat menjadi jalan kompromi antara kelompok abolisionis dan retensionis. Perumus juga mempertimbangkan perubahan paradigma RUU KUHP bahwa nantinya hukuman pidana tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Pada KUHP eksisting, hukuman mati diberlakukan untuk tindak pidana berat seperti makar, pembunuhan berencana, terorisme, narkoba, dan pelanggaran HAM berat. Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2017 terdapat 134 terpidana mati di Tanah Air.
Ketua Badan Pengurus Amnesty International Indonesia Todung Mulya Lubis menghormati klasifikasi baru hukuman mati sebagai hukuman bersyarat dalam RUU KUHP. Kendati dia mengaku tetap tidak setuju hukuman mati, fakta menunjukkan bahwa hukuman berat tersebut didukung mayoritas masyarakat Indonesia.
“Tapi siapa tahu 50 tahun atau 100 tahun lagi KUHP berubah dan hukuman mati dihapuskan total,” katanya.