Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan kasus korupsi KTP berbasis elektronik yang dihadapi Setya Novanto menyandera elektabilitas Partai Golkar.
Hal ini terbukti dari data yang dimiliki pihaknya. Burhanuddin melakukan riset pada 2016 elektabilitas Partai Golkar mencapai 16,1% dan pada September 2017 hanya 12%.
Dia menyebut, hal Itu tidak bisa dilepaskan dari kasus KTP berbasis elektronik dengan aktor yang dianggap jadi pemain utama adalah Setya Novanto.
“Dalam hal ini Setya Novanto menghadapi dua perang sekaligus. Perang secara hukum dan perang opini termasuk goncangan di internal Partai Golkar. Meski sebelumnya lolos praperadlian Setya Novanto secara opini politik sudah divonis bersalah,” ujarnya, Rabu (15/11).
Kendati demikian, menurutnya, masalah ini tidak akan berpengaruh signifikan secara negatif terhadap calon kepala daerah yang diusung Partai Golkar pada pilkada serentak 2018. Sebabnya, dalam konteks pilkada lebih bersifat ketokohan personal dari calon pemimpin.
Kecuali, kata dia, calonnya berasosiasi sangat kuat dengan Setya Novanto secara pribadi atau dengan Partai Golkar secara institusi. Dalam hal ini, kualitas personal menjadi penentu kemenangan.
Baca Juga
Akan tetapi hal itu menurutnya akan berbeda pada pemilihan presiden 2019. Sebabnya, ketua partai dan sekretaris jenderal yang menandatangani siapa calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung.
Burhanuddin pun menyebut, kendati elektabilitas Partai Golkar turun karena dugaan korupsi oleh Setya Novanto hal itu tak akan membuat partai berlambang beringin itu benar-benar tamat. Perolehan suara Partai Golkar pada tahun politik diproyeksikan tak akan di bawah 10%.
Ada faksi anti Setya Novanto di Partai Golkar yang terlalu mendramatisasi. Golkar mengalami tren penurunan, tapi saya tidak yakin suaranya di bawah 10%. Karena infrastruktur politiknya sangat kuat, mengandalkan tokoh dan kepala daerah dan tingkat kedekatan pemilihnya nomor dua setelah PDIP. Meski ada gonjang-ganjing di elit, mereka masih akan tetap pilih Partai Golkar. Pada 2014 Abu Rizal Bakrie pun dramatis tapi tetap dapat suara 14,5%,” ujarnya.