Kabar24.com, DENPASAR—Pengembang yang tergabung dalam Realestate Indonesia atau REI Bali kesusahan merealisasikan rumah bersubsidi akibat seretnya pasokan pasir dan koral.
Ketua DPD REI Bali Pande Agus Widura mengungkapkan kalaupun ada yang menjual pasir dan koral, harganya sangat mahal, yakni mencapai Rp2,5 juta per truk dari sebelumnya hanya Rp1,5 juta per truk.
“Itupun sangat jarang ada, bisa dua hari baru akan tiba. Kondisi ini mengganggu kami khususnya pengembang rumah bersubsidi,” jelasnya, Jumat (20/10/2017).
Lebih lanjut dijelaskan, gangguan pasokan pasir dan koral terjadi karena pusat galian C berada di Sebudi, Kabupaten Karangasem yang berada di kaki Gunung Agung. Adapun lokasi tersebut saat ini ditutup sementara karena berada dalam radius 12 Km dari kawah Gunung Agung.
Menurutnya, kondisi ini mengganggu rencana REI Bali mewujudkan rumah bersubsidi lebih banyak akibat gangguan pasokan bahan bangunan.
Pada 2017, REI Bali menargetkan sebanyak 5.000 unit rumah FLPP. Dari jumlah tersebut, sekitar 3.500 unit sudah direalisasikan.
Baca Juga
Adapun lokasi pengembangan hanya dilakukan di empat kabupaten, Buleleng, Jembrana, Karangasem dan Tabanan, karena harga tanahnya masih terjangkau.
Pande menuturkan ada solusi untuk masalah ini, yakni membeli pasir dari Banyuwangi, Jawa Timur tetapi risikonya harga sangat mahal dan kualitasnya tidak sebaik dari Karangasem. Pasir dari Gunung Agung diklaim merupakan bahan bangunan terbaik di Bali jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Dewata seperti Kintamani.
Namun, risiko membeli pasir lebih mahal berdampak terhadap membengkaknya biaya pembangunan rumah bersubsidi. Jika itu dilakukan, dampaknya akan membuat biaya yang dikeluarkan pengembang lebih besar. Di sisi lain, harga rumah bersubsidi akan terpengaruh.
Dia mengatakan pengembang tidak bisa merevisi harga rumah bersubsidi karena sudah ditetapkan oleh Kementerian PU Pera. Selain itu, apabila hendak merevisi harga harus ada kajian atau bahkan kondisi kegawatdaruratan. Saat ini status Gunung Agung masih tetap awas sehingga belum dapat meminta revisi.
Kondisi gawat darurat atau bencana hanya bisa ditetapkan apabila, Gunung Agung meletus. Dia menegaskan sudah melaporkan kondisi ini kepada pemerintah tetapi karena masalah status Gunung Agung, maka pemda juga tidak bisa mengajukan revisi.
“Harga rumah subsidi itu sudah terpatok sesuai dengan ketentuan Kementerian PU Pera. Jadi harga rumah subsidi tidak bisa serta merta kami baikan, karena kenaikannya sudah diatur tiap tahunnya sebesar 5%. Kami hanya bisa merevisi ketika sudah terjadi bencana, masalahnya bencananya belum,” ungkapnya.