Kabar24.com, MANADO - Bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Olly Dondokambey meresmikan Lapangan Tembak Pistol Pierre Andreas Tendean di Makodam XIII/Merdeka Manado, Minggu (1/9/2017).
Peresmian ditandai dengan penekanan tombol sirene pembukaan tirai selubung papan nama lapangan tembak oleh Gubernur Olly, disaksikan Pangdam XIII/Merdeka Mayjen Ganip Warsito.
Gubernur Olly mengapresiasi Pangdam Ganip atas dipilihnya nama Pahlawan Revolusi Pierre Andreas Tendean untuk diabadikan menjadi nama Lapangan Tembak Pistol di Makodam XIII Merdeka.
"Saya merasa gembira dan mengapresiasinya karena Pahlawan Revolusi Pierre Andreas Tendean yang telah berjasa bagi bangsa ini dapat dijadikan panutan dan dibanggakan oleh seluruh masyarakat Sulawesi Utara,” ujar Olly, dalam keterangan resmi, dikutip Bisnis.com, Minggu (1/10/2017).
Sementara, di sela peresmian, Olly juga ikut unjuk kebolehan menembak dengan pistol.
Setelah mengenakan penutup telinga, Olly mulai menembak target falling plat yang dijajarkan dari jarak 25 meter disaksikan Pangdam Ganip, Kasdam XIII/Merdeka Brigjen Santos Gunawan Matondang dan Danrem 131/Santiago Brigjen Sabar Simanjuntak.
Baca Juga
Seperti diketahui, Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andreas Tenderan (1939-1965) adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.
Anak Dokter dari Minahasa
Pierre Tendean lahir tanggal 21 Februari 1939 di Jakarta. Ayahnya dr. A.L. Tendean, adalah dokter berdarah Minahasa yang juga pimpinan Rumah Sakit Jiwa Tawang, Semarang.
Ibunya Maria Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah Prancis, Pierre Tendean merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.
Pendidikan dasar menengah diselesaikan Tendean di Semarang. Ayahnya menginginkan Pierre Tendean mengikuti jejaknya masuk kedokteran, namun Pierre Tendean lebih tertarik dengan militer.
Pierre Tendean masuk Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung, yang kemudian berganti nama menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek).
Pierre Tendean merupakan siswa yang berbakat hingga diangkat sebagai Komandan Batalion Taruna di samping sebagai Ketua Senat Korps Taruna.
Pada waktu masih taruna, Pierre Tendean pernah mendapat tugas lapangan dan dikirim memadamkan pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra Barat dalam kesatuan Zeni Tempur.
Pada tahun 1962 Pierre Tendean menyelesaikan pendidikan militernya dan ditugaskan di Batalion Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan. Satu tahun kemudian Pierre Tendean disekolahkan di sekolah intelijen Bogor.
Pada tahun 1965 Pierre Tendean diangkat menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Nasution.
Menjelang tanggal 1 Oktober 1965, Pierre Tendean sedang tidak menjalankan tugas namun waktu itu beliau berada di belakang rumah dinas A.H. Nasution. Mendengar suara rentetan senjata, Pierre Tendean mengambil senjatanya, namun dia ditangkap oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya G30S/PKI.
Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama ke enam perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.
Pierre Tendean meninggal saat usianya menginjak 26 tahun. Duka mendalam dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965.
Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Bersama enam perwira korban Gerakan 30 September lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.
Berdasarkan SK Presiden No. 111/KOTI/1965 tanggal 5 Oktober 1965, pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Revolusi.