Bisnis.com, JAKARTA--Ombudsman Republik Indonesia menilai pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap Humprey Ejike Jefferson dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan.
Humprey Ejike Jefferson merupakan satu dari empat terpidana mati kasus narkotika yang dieksekusi di Nusa Kambangan, 26 Juli 2016. LBH Masyarakat selaku penasehat hukumnya kemudian melayangkan laporan dugaan maladministrasi ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
LBH tersebut menduga ada pengabaian hak dalam pelaksanaan eksekusi mati Humprey Ejike
Jefferson dimana pelaksanaan eksekusi tidak memperhatikan proses grasi yang sedang diajukan. Selain itu, pihak Kejaksaan Agung diduga melakukan penyimpangan prosedur terkait pelaksanaan eksekusi mati Humprey.
Anggota ORI, Ninik Rahayu mengatakan ada beberapa temuan yang didapatkan oleh pihaknya setelah melakukan penelusuran terkait dengan pelaksanaan hukuman mati tersebut. Pihaknya menilai pelaksanaan hukuman mati semestinya ditunda mengingat terpidana mati saat itu sedang mengajukan permohonan grasi.
“Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 13 Undang-undang N0.22/2002 tentang Grasi,” ujarnya, Jumat (28/7/2017).
Temuan lainnya adalah tidak diteruskannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua Humprey Ejike Jefferson ke Mahkamah Agung oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menunjukkan perbedaan perlakuan atau diskriminasi di antara para terpidana mati karena mahkamah menerima berkas peninjauan atas nama Eugene Ape dan Zulfiqar Ali.
Dengan mempertimbangkan temuan tersebut, ORI memberikan saran kepada Kejaksaan Agung, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Badan Pengawas Mahkamah Agung.
Kepada Kejaksaan, ORI memberikan rekomendasi agar lembaga penegak hukum itu memperhatikan putusan Mahkamah Konastitusi No.10/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat 2 UU No.5/2010 tentang perubahan atas UU No.22/2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yaitu tentang pembatasan jangka waktu pengajuan grasi 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Rekomendasi lain, Kejaksaan diminta melakukan perbaikan proses dan teknis pelaksanaan eksekusi mati, terutama mengenai pemenuhan hak bagi terpidana mati dan keluarganya yaitu hak atas informasi kepada keluarga terkait pelaksanaan eksekusi mati yang dalam ketentuan diberikan sebelum masa 3x24 jam. Dalam eksekusi mati, pihak keluarga diberitahukan 57 jam sebelum pelaksanaan eksekusi.
Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diminta menerapkan ketentuan teknis pengajuan peninjauan kembali tanpa diskriminasi kepada siapapun. Badan Pengawas Mahkamah Agung pun diminta melakukan pemeriksaan kepada PN Jakarta Pusat terkait adanya perlakuan yang berbeda atas permohonan PK kedua dari Humprey di mana tidak adanya penjelasan yang memadai terhadap pengajuan PK kedua, padahal dalam kasus lain permohonan PK itu diteruskan ke MA.
“Ada indikasi penyimpangan demi penegakkan dan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang melakukan penyimpangan untuk diberikan sanksi sesuau ketentuan yang berlaku,” katanya.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan hasil telaahan ORI mempertegas pandangan pihaknya bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati yang melawan hukum terhadap Humprey dan tiga terpidana lainnya.
“Temuan ORI menumbuhkan harapan akan adanya keadilan bagi mereka yang telah dieksekusi secara ilegal. Eksekusi 29 Juli 2016 itu dilakukan secara tergesa-gesa, serba tertutup dan serampangan,” tuturnya.
Karena itu, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan untuk menghentikan persiapan eksekusi hukuman mati dan melakukan pembenahan. Institusi tersebut memiliki tugas untuk menindaklanjuti temuan ORI yang harus diselesaikan dalam tempo 6 bulan.