Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kapolri Tito : 17 Kasus Terorisme di Balik Penutupan Telegram

Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian mengakui usulan penutupan aplikasi Telegram oleh Kominfo dilatarbelakangi permintaan pihaknya. Hal itu disebabkan tercatat 17 kasus terorisme dirancang melalui komunikasi dengan aplikasi tersebut
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5)./Antara-Akbar Nugroho Gumay
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/5)./Antara-Akbar Nugroho Gumay

Kabar24.com, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui usulan penutupan aplikasi Telegram oleh Kominfo dilatarbelakangi permintaan pihaknya. Hal itu disebabkan tercatat 17 kasus terorisme dirancang melalui komunikasi dengan aplikasi tersebut.

Tito menyebut, temuan tersebut merupakan hasil investigasi Densus 88. Telegram digunakan jarangin terorisme untuk berkomunikasi karena memiliki kelebihan dari aplikasi lain.

"Karena Telegram ini memiliki enkripsi yg tidak bisa dilakukan penyadapan kemudian dapat bikin grup obrolan super besar mencapai 10.000 anggota tanpa ketahuan adminnya dan tidak ketahuan nomor teleponnya. Komunikasinya memang bisa bersifat sangat private, tapi kalau digunakan di tangan yang tidak benar akan membahayakan keamanan negara," katanya saat rapat dengan Komisi III DPR RI di komplek Senayan, Senin (17/7).

Menurutnya, Kominfo sebenarnya sudah meminta pihak Telegram memberikan akses khusus untuk penanganan atas rekomendasi pihak kepolisian. Namun hal tersebut tidak ditanggapi oleh pihak provider Telegram.

SIMAK : Mirip, Ini Beda Telegram dengan WhatsApp

"Kami awalnya tidak ingin menutup tapi meminta akses untuk pelaku teror tapi tidak ditanggapi sehingga pemerintah kami rasa harus unjuk gigi untuk menutup Telegram. Tapi saya dengar dari Menkominfo Telegram kemarin ingin negosiasi. Ke depan akses khusus kepada yg mengancam keamanan negara mudah mudahan bisa diakses kepolisian," ujarnya.

Pola Terorisme

Tito menjelaskan lebih lanjut, kini pola terorisme sudah bergeser. Berkaca pada kasus bom Bali, terorisme bersifat terorganisir. Namun, saat ini berkembang 'lone wolf,' teroris bergerak sendiri karena teradikalisasi secara online. Pelaku teror mempelajari pembuatan bom atau melakukan serangan secara online.

Untuk itu, lanjut Tito, pihaknya sudah memperkuat bidang siber Polri di antaranya dibentuknya Direktorat Kriminal Khusus Patroli Internet dan menaikan Subdit Siber di Bareskrim menjadi Direktorat.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-P Ahmad Basarah mengatakan Polri harus mengambil langkah out of the box dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi termasuk terorisme. Dia mengatakan, kepolisian bisa menggunakan pendekatan agama dan kebudayaan selain pendekatan hukum.

"Karena tidak semua masalah hukum dapat diselesaikan dengan pendekatan hukum. Tapi pendekatan budaya dan gama yang sesuai dengan kepribadian Indonesia," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper