Kabar24.com, YOGYAKARTA -- Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono berkomitmen menangkal penyebaran paham-paham ekstrem atau radikal di lingkungan kampus dengan melibatkan dosen sebagai pendamping dalam setiap kegiatan keagamaan mahasiswa.
"Prinsipnya ada pendampingan, mahasiswa tidak akan kita lepas, dosen harus terlibat," kata Panut usai menghadiri pengukuhan Pengurus Dewan Pendidikan DIY Periode 2017 sampai dengan 2022 di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta, Jumat (2/6/2017).
Panut menjelaskan, keterlibatan dosen, misalnya, dalam pengelolaan Jamaah Salahuddin sebagai lembaga dakwah kampus (LDK) UGM yang menurut dia terdiri atas beragam aliran atau ideologi Islam.
Dalam lembaga itu dimasukkan unsur dosen pembimbing, dosen pembina, dan dosen penasihat.
"Dengan melibatkan dosen kami berusaha membuat komunitas-komunitas dari berbagai aliran saling berdampingan. Harapannya masing-masing bisa saling belajar dan memengaruhi ke arah yang lebih positif," katanya.
Dosen pendamping, kata Panut, juga memiliki fungsi mengarahkan mahasiswa untuk memilih penceramah yang materinya selalu memegang prinsip kebangsaan dan keutuhan NKRI di setiap kegiatan di Masjid Kampus UGM.
Menurut Panut, sejak masa Rektor Dwikorita Karnawati pengelolaan masjid kampus UGM yang semula dikelola yayasan, menjadi dikelola universitas.
"Kalau tidak kami dampingi mereka bisa mencari penceramah suka-suka mereka," kata dia.
Baca Juga
Selain masuk ke dalam LDK, menurut Panut, pihak universitas juga akan memantau langsung kegiatan keagamaan mahasiswa-mahasiswa baru. Pasalnya, Panut menengarai bahwa pengaruh paham-paham radikal rentan menyasar mahasiswa baru.
"Kami menengarai bahwa paham tertentu bisa masuk ke kalangan mahasiswa baru yang masih kosong pengetahuan keagamaannya dari daerahnya, apalagi selanjutnya mereka difasilitasi," kata dia.
Panut mengatakan, bahwa komitmen mencegah beredarnya paham radikal serta paham sempalan lain yang ingin mengubah ideologi negara di lingkungan kampus itu telah sesuai dengan citra UGM selain sebagai kampus kerakyatan, kampus kebudayaan, juga kampus Pancasila.
"Belajar agama, belajar ideologi, politik apa pun boleh. Kalau belajar boleh, yang tidak boleh kalau menyuarakan ingin mengubah bentuk negara dan mengganti Pancasila," katanya.
Meskipun demikian, Panut juga selalu berpesan agar kajian agama agar selalu dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari, sehingga memunculkan kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungannya.
"Ya, kalau Islam, ya, yang rahmatan lil alamain (rahmat bagi seluruh alam)," katanya.