Bisnis.com, JAKARTA - KPK mendalami relasi Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, keponakan Ketua DPR RI Setya Novanto dengan tim Fatmawati dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-elektronik).
Irvanto yang merupakan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera diperiksa sebagai saksi oleh KPK dalam penyidikan kasus pengadaan paket KTP-e untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Kami dalami beberapa hal terkait dengan tim Fatmawati kepada saksi termasuk juga relasi satu saksi dan saksi lain ketika rapat-rapat dilakukan di Ruko Fatmawati tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Hal tersebut, kata dia, menjadi bagian penting dari konstruksi perkara ini untuk membuktikan apakah terdapat pengaturan tender dari awal dan relasi proses penganggaran yang diduga ada alokasi untuk DPR RI.
Sementara itu, KPK juga memeriksa anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai saksi dalam kasus yang sama untuk tersangka Andi Agustinus.
"Kami menanyakan peran saksi sebagai anggota DPR pada proses pembahasan anggaran termasuk hubungan dengan terdakwa dan saksi lain dari pihak perusahaan. Penyidik memperdalam indikasi pihak-pihak tertentu yang mendapatkan aliran dana atau diperkaya dalam kasus KTP-e ini," ucap Febri.
Baca Juga
Sebelumnya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, keponakan Setya Novanto, mengaku memimpin konsorsium Murakabi Sejahtera yang merupakan salah satu peserta lelang KTP elektronik.
"Saat KTP elektronik, Murakabi ikut serta menjadi Ketua Konsorsium, lead-nya saya sendiri," kata Pambudi, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Kamis (27/4).
Dia bersaksi untuk dua terdakwa, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan pada direktorat jenderal itu, Sugiharto.
Pambudi dalam sidang pun mengaku sebagai keponakan Novanto. Dalam dakwaan, Novanto disebut sebagai orang yang punya pengaruh besar untuk menentukan anggaran KTP elektronik di DPR diputuskan.
Dalam dakwaan disebutkan Andi Agustinus alias Andi Narogong membentuk tiga konsorsium yaitu konsorsium Percetakan Negara Indonesia, konsorsium Astapraphia, dan konsorsium Murakabi Sejahtera. Seluruh konsorsium itu sudah dibentuk Andi Narogong sejak awal untuk memenangkan Konsorsium Percetakan Nasional Indonesia dengan total anggaran Rp5,95 triliun dan mengakibatkan kerugian negara Rp2,314 triliun.
Dalam dakwaan juga disebut beberapa anggota tim Fatmawati, yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila, alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi dan Kurniawan menerima masing-masing sejumlah Rp60 juta terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.
Diketahui juga dalam proses lelang dan pengadaan itu diatur oleh Irman, Sugiharto dan diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan sejumlah pertemuan di ruko Fatmawati milik Andi Agustinus.
Andi Agustinus disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.