Kabar24.com, JAKARTA—Hari ini, Rabu (5/3/2017) salah satu acara terbesar terkait kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day digelar di Indonesia, tepatnya di Jakarta Convention Center.
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, acara hari ini bisa dikategorikan jauh lebih sukses dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang dilaksanakan di Finlandia pada 2016 dan Latvia pada 2015. Hal itu bisa dilihat dari jumlah peserta baik dalam negeri maupun mancanegara yang meroket tajam.
“Pesertanya saja, yang register di Indonesia itu 2.000. Padahal, di negara sebelumnya, Finlandia, Latvia itu cuma 500-600, itu satu. Dari peserta internasional, internasional jurnalis, itu yang hadir 500,” katanya, Rabu (3/5/2017).
Selain para peserta, sejumlah pembicara juga turut hadir dan menyumbang pendapat baik dari pemerintah seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, juga para pelaku industri media atau jurnalis sendiri.
Namun, apakah kebebasan pers di dunia atau khususnya di Indonesia telah benar-benar sesukses perhelatan tahunan ini?
Rudiantara menilai bahwa industri pers di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di Asia bahkan dunia. Indonesia, katanya, memiliki satu-satunya undang-undang yang tidak dicampurtangani oleh peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Baca Juga
“Artinya apa, tidak ada intervensi pemerintah kepada dunia pers di Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Director-Program and Development for the International Jane Worthington menilai bahwa kebebasan pers di dunia atau khususnya di Asia Pasifik saat ini cenderung menurun.
Menurutnya, dunia jurnalistik masih sering dihantui kekerasan, ancaman, bahkan kematian para awak berita. Bukan hanya ancaman kekuasaan tetapi juga sikap publik, dan ketegangan antarumat beragama, khususnya untuk Indonesia.
Jane tak menampik bahwa di Indonesia yang merupakan negara demokrasi, kebebasan jurnalistik dipandang sebagai satu hal yang pantas dan mendapat tempat serta perlindungan. Indonesia juga memiliki undang-undang khusus yang mengatur terkait hal ini yakni Undang-Undang Pers serta lembaga yang menaungi industri ini. Hal-hal ini dipandang sebagai faktor yang mendukung terciptanya industri media yang sehat.
Namun, aksi kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia tidak serta merta hilang, malah meningkat. Sebagai contoh, belum lama ini, seorang pewarta berita dari salah satu televisi swasta di Indonesia dipukul dan diludahi oleh seorang warga ketika sedang meliput banjir di salah satu lokasi di Jakarta.
Selain itu, intimidasi pada wartawan juga terjadi pada peliputan aksi demo 4 November 2016 lalu. Seorang oknum yang tidak diketahui identitasnya dengan pongah memeriksa ID card wartawan untuk mencari pewarta media tertentu yang dinilai memiliki pendapat berseberangan dengan mereka sembari mengeluarkan kata-kata ancaman.
“Sayangnya, kebebasan pers di Asia Pasifik saat ini menurun. Kami masih melihat tingginya ancaman dan intimidasi serta kekerasan yang diarahkan kepada para jurnalis dan hal ini juga jamak terjadi di Indonesia. Ada banyak keresahan dan ketegangan terkait agama sehingga di beberapa tempat para jurnalis merasa terancam padahal mereka hanya sedang melakukan tugasnya,” jelas Jane pada Bisnis.com.
Mengutip Antara, tercatat 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia pada 2016 yang meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tahun ini, hingga April 2017, diketahui terjadi 21 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Adapula delapan kasus pembunuhan jurnalis yang tak terselesaikan yakni kasus Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur), Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku).
Dalam kesempatan yang sama, Bisnis.com juga sempat berbicara dengan Levi Gittleman, seorang mahasiswa dari Unesco Crossing Institute. Ia sudah tiga tahun menggeluti dunia jurnalistik. Pendapat Levi tak jauh beda dari Jane. Menurut Levi yang berasal dari California ini, kebebasan pers di negaranya juga tak jauh berbeda dari keadaan pada umumnya.
“Di Amerika, saat ini [kebebasan pers] sepertinya menurun. Anda tahu presiden baru saja dilantik dan ada banyak tuduhan berita bohong di sana-sini. Sulit rasanya melihat negara saya berada dalam kondisi jurnalistik dan pers seperti ini,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini mempersempit ruang gerak para jurnalis. Dengan demikian, mereka harus ekstra hati-hati dalam menulis sejumlah isu.
Guna memastikan bahwa para jurnalis tidak akan tersandung oleh hasil tulisan mereka sendiri, menurut Levi, sangat perlu untuk memastikan atau mengecek ulang setiap informasi yang didapat, "bahkan memastikan narasumber benar-benar berkata yang benar."
“Saya juga masih terus belajar tetapi sangat perlu untuk mengecek ulang segala hal, mengecek ulang nara sumber, mengecek ulang latar belakang orang yang Anda wawancarai, melakukan sebanyak mungkin penelitian dan jangan bertindak bodoh atau naïf. Jika hendak menulis artikel, usahakan memiliki sebanyak mungkin sumber dan cek ulang segalanya,” papar Levi.
Simak juga video ini di BisnisTV: World Press Freedom Day 2017