Kabar24.com, JAKARTA — Nasib ribuan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Pandawa Mandiri Group masih belum jelas, bahkan hingga Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan koperasi dalam PKPU sementara pada Senin (17/4/2017) lalu.
Akankah nasibnya serupa Koperasi Cipaganti yang berakhir pailit? Pasalnya, kedua koperasi itu memiliki beberapa kemiripan kondisi saat masuk tahap penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di pengadilan yang sama.
Bahkan, jika melihat basis bisnis yang dijalankan, Koperasi Pandawa jauh lebih berisiko dibandingkan dengan Koperasi Cipaganti yang digawangi Andianto Setiabudi.
Investasi Return Tinggi
Kedua koperasi mengandalkan jalannya bisnis dari uang anggota atau nasabah yang disetorkan. Koperasi Pandawa menawarkan imbal hasil hingga 10% per bulan dari nilai setoran. Return tetap berjalan selama masih ada anggota baru yang setor, maupun dari anggota lama yang melakukan top-up atau investasi lagi. Dana yang katanya digulirkan untuk investasi riil itu nyatanya hanya diputar saja.
Sementara itu, Koperasi Cipaganti yang aslinya bernama Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada (KCKGP) menawarkan imbal hasil yang lebih kecil, sekitar 1,5% per bulan. Namun, basis bisnis riil Koperasi Cipaganti yang kabarnya masuk sektor tambang mengalami masalah, alhasil janji imbal hasil itu pun gagal dipenuhi. Pada akhirnya koperasi ini gagal bayar dan kemudian masuk PKPU, yang akhirnya pailit.
Baca Juga
Pemilik Dipenjara
Figur Andianto Setiabudi di Koperasi Cipaganti jauh lebih ‘kuat’ jika dibandingkan dengan sosok Nuryanto—Sebelumnya tukang bubur—di Koperasi Pandawa. Posisi terakhir Andianto sebelum ditangkap polisi karena laporan penipuan oleh nasabah adalah Direktur Utama PT Cipaganti Citra Graha Tbk—sekarang menjadi PT Citra Maharlika Nusantara Corpora Tbk.
Baik Andianto maupun Nuryanto berada dalam tahanan ketika koperasi yang mereka bentuk berada dalam masa restrukturisasi via pengadilan. Dalam perkara Koperasi Pandawa, penahanan Nuryanto lebih krusial lantaran dia juga berstatus sebagai debitur PKPU. Artinya, kehadiran Nuryanto di pengadilan dalam proses restrukturisasi sangat penting karena menyangkut negosiasi pembayaran utang-piutang dengan kreditur yang jumlahnya diperkirakan lebih dari 4.000 nasabah.
Ketidakhadiran Nuryanto karena harus berurusan dengan kasus pidana bakal menyulitkan proses PKPU. Pasalnya, Nuryanto dan pihak koperasi akan diminta mengajukan proposal perdamaian kepada kreditur. Jika tidak mengajukan, sudah pasti keduanya akan dinyatakan pailit oleh pengadilan dan seluruh aset harus dilelang untuk membayar utang.
Diajukan PKPU
Kedua koperasi sama-sama masuk skema PKPU via pengadilan yang sama. Koperasi Cipaganti sempat selamat dengan tercapainya perdamaian atau homologasi, yakni pengesahan perjanjian baru pembayaran utang. Namun, dalam proses pembayaran utang, koperasi dinyatakan lalai dan pailit pada September 2016.
Sementara itu, Koperasi Pandawa dinyatakan PKPU pada Senin pekan ini setelah permohonan seorang nasabah bernama Farouk Elmi Husein dikabulkan hakim. Sejalan dengan proses PKPU, Koperasi Pandawa pun diurus oleh tim pengurus yang terdiri atas Roni Pandiangan, Ruth Olivia, Mohamad Deny, Ricardo Salamorota dan Hendro Widodo.
Dibandingkan dengan Koperasi Cipaganti yang nasabah atau mitranya mencapai 8.700-an pihak, Koperasi Pandawa masih lebih kecil dengan jumlah nasabah hanya setengahnya. Namun, nilai tagihan yang akan diajukan dalam proses PKPU diperkirakan sama-sama besar, mencapai triliunan rupiah.
Aset
Keberadaan aset menjadi sangat penting, baik dalam proses PKPU maupun jika pailit. Selain sebagai jaminan, aset juga dapat dilelang untuk memenuhi pembayaran kepada para nasabah. Sampai sejauh ini, belum diketahui nilai aset pasti Koperasi Pandawa. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pernah menyebut aset Ketua Koperasi Pandawa Nuryanto yang disita mencapai Rp1,5 triliun.
KSP Pandawa telah dibekukan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada November 2016. Nasabah juga melaporkan KSP Pandawa berserta pemiliknya ke pihak kepolisian dengan pasal berlapis. Mereka diduga melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Pasal 3, 4, 5 UU No. 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).