Kabar24.com, JAKARTA—Pemerintah dinilai tidak terbuka kepada DPR terkait kompleksitas rencana perubahan kontrak karya PT Freeport Indonesia sehinga dikhawatirkan ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan dengan persoalan perizinan usaha tambang.
Demikian disimpulkan dalam diskusi “Freeport: Kebijakan Pemerintah dan Ancaman Korporasi” dengan menghadirkan nara sumber Anggota Komisi VII Harry Purnomo dan pengamat masalah energi dan pertambangan dari Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinan Hutahaean di Gedung DPR, Kamis (23/2/2017).
“Pemerintah tidak terbuka untuk berkomunikasi dengan DPR soal strategi menghadapi Freeport,” ujar Harry.
Menurutnya, sejak kasus kontrak karya bergulir pemerintah terkesan tertutup sehingga Komisi VII DPR tidak bisa menggali lebih jauh mengenai persoalan yang sangat strategis itu di sektor pertambangan.
Bahkan secara keseluruhan politisi Partai Gerindra itu mengatakan bahwa ada kesan DPR hanya sebagai tukang stempel atas kebijakan pemerintah.
Kesan itu, ujarnya, muncul setelah kekuatan partai pendukung pemerintah semakain kuat, sedangkan partai yang berada di luar pemerintah kian sedikit termasuk PKS dan Gerindra.
Dia mengatakan bahwa tanpa merendahkan arti nasionalisme, akan sulit bagi Indonesia untuk menghadapi Freeport dalam kasus ancaman gugatan Freeport ke Arbitrase Internasional.
Menurutnya, tim negosiasi Indonesia tidak saja merasa inferior, akan tetapi juga banyaknya kelemahan kita dalam hal kemampuan teknologi dan permodalan.
Sementara itu, Ferdinand Hutahaean mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan awal pada kontrak karya yang telah ditandatangani.
Menurutnya, kontrak karya tidak pernah mencantumkan bahwa seluruh peralatan akan menjadi milik Indonesia kalau kontrak berakhir.
Dengan demikian, ujarnya, kalau Freeport benar-benar hengkang dari Indonesia dengan ngototnya pemerintah mengubah kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertabangan Khusus (IUP) maka Indonesia akan dirugikan.
Sedangkan terkait kecurigaan atas adanya oknum pejabat yang ‘bermain’ dalam sengketa ini, lebih jauh dia mengatakan ada sinyalemen yang jelas mengenai hal itu.
“Ada dugaan agenda tersimpan di dompet belakang. Di depan pura pura nasionalisme tapi diam-diam mengeruk keuntungan,” ujarnya.