Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa waktu terakhir, dunia pendidikan di Indonesia ditampar oleh isu tak sedap yang menyangkut kekerasan di lingkungan sekolah. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang menimba ilmu anak, berubah menjadi cemar akibat tindakan tak bertanggungjawab.
Setelah beberapa waktu lalu santer diberitakan soal siswa SD yang niat tawuran di senjata tajam di Semarang, baru-baru ini publik kembali dihebohkan dengan kasus kekerasan di SDN 1 Sabu Barat, Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur.
Seorang pemuda memasuki ruangan kelas V dan melakukan penyerangan serta penyanderaan menggunakan senjata tajam pada murid yang sedang belajar. Akibat insiden pada Selasa (13/12) itu, 7 siswa sekolah dasar terluka dan terpaksa dilarikan ke puskesmas terdekat.
Menurut pernyataan resmi Kabid Humas Kepolisian Daerah NTT Jules Abraham Abast, pelaku tindak kekerasan di lingkungan sekolah itu diduga sedang stress sehingga nekat mengeksekusi penyerangan terhadap para siswa tersebut.
Apapun latar belakangnya, peristiwa kekerasan di lingkungan sekolah—baik yang dilakukan oknum di dalam maupun dari luar sekolah—adalah hal yang sangat memprihatinkan dan sama sekali tidak bisa ditoleransi.
Bahkan, pemerintah sampai mengelus dada menyimak tragedi tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menegaskan bahwa insiden itu adalah alaram pembangun bagi dunia pendidikan di Tanah Air.
“Kekerasan dalam bentuk apapun tidak bisa ditoleransi, apalagi kalau dilakukan di sekolah. Ini pelecehan terhadap pendidikan. Saya minta agar masyarakat menghindarkan tindak kekerasan di lingkungan sekolah,” ujarnya di kantornya awal pekan ini.
Dia juga meminta agar masyarakat tenang dan mempercayakan kasus tersebut kepada pihak berwajib, serta tidak bertindak impulsif dengan main hakim sendiri. “Saya juga minta agar pemulihan para korban dilaukan sebaik mungkin, jangan sampai menjadi trauma.”
PEKERJAAN BERAT
Sebenarnya, kasus kekerasan di lingkungan sekolah adalah salah satu pekerjaan rumah terberat para pemangku kepentingan bidang pendidikan di Tanah Air. Pasalnya, tanpa banyak disadari masyarakat, aksi kekerasan di lingkungan belajar cukup jamak di negeri ini.
Berdasarkan data International Center for Research on Women (ICRW), pada 2015 sebanyak 84% peserta didik di Indonesia mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah; setidaknya sekali selama 12 tahun menimba ilmu di sekolah.
Tidak hanya itu, 75% siswa mengaku pernah melakukan aksi kekerasan di lingkungan sekolah. Fakta lain mengungkapkan, pelaku kekerasan tidak hanya dilakukan oleh murid, tetapi oknum guru atau petugas sekolah.
Data yang sama mengungkapkan 45% murid laki-laki di Indonesia mengaku pernah menerima tindak kekerasan dari guru maupun petugas kesehatan. Adapun, 22% siswa perempuan menyebutkan pernah mengalami hal serupa.
Salah satu bentuk kekerasan yang paling lazim terjadi di lingkungan sekolah Indonesia adalah perundungan (bullying). Tahun lalu saja, United Nations Children’s Fund (Unicef) mencatat lebih dari 50% peserta didik di republik ini pernah mengalami perundungan di sekolah.
Di beberapa daerah, seperti Papua dan Papua Barat, kekerasan di lingkungan sekolah adalah hal yang lazim. Menurut Multiple Indicator Cluster Survey yang dilakukan Unicef pada 2011, hukuman emosional dan fisik dari guru terhadap murid masih banyak dijumpai di sana.
Lebih dari 60% pengajar dilaporkan kerap menggunakan hukuman fisik terhadap peserta didiknya. Angka itu setara dengan satu dari empat guru atau pengasuh di kedua provinsi tersebut.
Sejumlah 54% sekolah di sana juga mempraktikkan cara hukuman fisik yang berat kepada peserta didik. Alasannya klasik; para guru mengaku angkat tangan dan tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mendisiplinkan murid-muridnya.
Untuk mengakhiri tindak kekerasan di sekolah, Unicef menggalakkan program disiplin positif guna mengakhiri budaya ‘main fisik’ yang dilakukan oleh oknum-oknum di lingkungan belajar.
Sebab, studi global membuktikan bahwa kekerasan di lingkungan sekolah memiliki dampak negatif bagi anak-anak. Proses belajar mereka terganggu, mereka memilih keluar dari sekolah, atau bahkan mereka akan mengadopsi perilaku kekerasan dan memengaruhi kesehatan mental mereka.
Bekerjasama dengan Helen Cahil dan Sally Beadle dari University of Melbourne, sejak 2012 Unicef mencoba menawarkan modul pelatihan untuk sekolah di Indonesia agar cara-cara kekerasan tidak ditemuh dalam penyelesaian masalah.
“Pelatihan ini mengombinasikan pendekatan partisipatoris yang memberi kesempatan praktek yang banyak bagi peserta lewat permainan peran dan pemecahan problema bersama tentang bagaimana melakukan perubahan di sekolah mereka,” jelas Cahil.
Guna menciptakan lingkungan sekolah yang nihil kekerasan, perlu diberlakukan pendekatan disiplin positif dan perubahan pola pikir bahwa kekerasan fisik dan verbal adalah solusi cepat di kala emosi.
Bercermin dari kasus di Semarang dan Sabu Raijua, jangan sekolah-sekolah di Indonesia menjadi cikal bakal dari peserta didik yang menganggap lumrah praktik kekerasan sebagai solusi. Biarkan sekolah menjadi rumah kedua yang sehat bagi tumbuh kembang mereka.