Kabar24.com, JAKARTA – Pemerintah mendorong perbaikan tata kelola pendataan perkara di aparat penegak hukum. Hal itu dilakukan, karena saat ini manajemen perkara milik penegak hukum belum terintegrasi dengan baik.
Asep Rahmat Fajar, Tenaga Ahli Utama Kedeputian Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Polhukam Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, sistem manajemen data bakal menjadi prioritas mereka dalam paket kebijakan hukum tahap selanjutnya.
“Selama ini tidak ada sistemnya, sehingga menyulitkan proses kontrolnya. Karena itu kami bakal memasukannya ke paket reformasi hukum,” kata Asep di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Rabu (7/12).
Dalam sistem itu, setiap data perkara bakal disatukan dalam satu basis data. Tujuannya, selain memudahkan kontrol juga mengurangi area abu-abu dalam penindakan hukum. Berkurangnya area abu-abu juga bakal meminimalisir pelanggaran aparat penegak hukum.
Tak hanya itu, jika sistem database tersebut terealisasi, proses pengawasan perkara bakal dilakukan lebih terbuka. Sistem itu, kata dia, juga menjamin perwujudan proses hukum yang transparan dan akuntabel.
"Semuanya bakal terbuka, satu hal lagi aparat penegak hukum juga bakal saling mengawasi," jelasnya.
Rencana pemerintah tersebut sebenarnya sejalan dengan sistem yang sedang dirancang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa waktu lalu, mereka telah membuat E- SPDP atau surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) elektronik.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, jika sistem tersebut sudah berjalan, aparat penegak hukum dari Polri, Kejagung, hingga KPK bakal bisa memonitor perkara tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia.
Sementara itu World Justice Project merilis data mereka tahun 2016. Data tersebut menunjukkan, rule of law index Indonesia berada di peringkat 61 atau anjlok sembilan peringkat dibanding tahun sebelumnya. Peringkat Indonesia juga tertinggal dari Singapura, yang menempati peringkat 9 dan Malaysia diperingkat 56.
Sesuai data tersebut, tiga faktor yang membuat posisi Indonesia anjlok adalah soal pemberantasan korupsi, tak terpenuhinya hak dasar warga negara, hingga pelaksanaan regulasi yang saling tumpang tindih.
Reformasi Mahkamah Agung
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan, salah satu satu pekerjaan rumah bagi pemerintah adalah reformasi Mahkamah Agung (MA). MA menurutnya merupakan problem besar dalam sistem peradilan di Indonesia.
Kebijakan hukum yang dilakukan pemerintah saat ini juga belum bisa menjangkau ke insititusi peradilan tersebut. Maraknya kasus operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap panitera atau hakim di insitusi peradilan menunjukkan bahwa masih ada yang perlu dibenahi.
“Mahkamah Agung (MA) masih mejadi problem besar, tidak cukup dengan reformasi tetapi harus revolusi. Karena kebijakan hukum pun tidak akan menjangkau ke MA,” jelasnya.
Adapun sepanjang tahun ini, lembaga peradilan tetinggi tersebut sering menjadi sorotan terutama setelah terungkapnya suap terhadap panitera PN Jakarta Pusat Edy Nasution. Edy diduga menjadi kepanjangan tangan dari bekas Sekretaris MA Nurhadi. Terungkapnya perkara itu juga membuat sejumlah lembaga sipil mendorong reformasi di tubuh lembaga peradilan.
"Harus ada langkah yang tegas dan itulah yang mesti dilakukan oleh presiden saat ini,” pungkasnya.