Kabar24.com, JAKARTA - Langkah Partai Golkar mengembalikan kursi pimpinan DPR kepada Setya Novanto dinilai sebagai hal yang sulit dipahami.
"Keputusan Golkar mengembalikan Setya Novanto ke kursi pimpinan DPR sejauh ini sulit dipahami. Kesulitan memahami terutama muncul ketika keputusan Golkar ini diambil tanpa menjelaskan alasan dibalik keputusan tersebut," ujar peneliti Formappi Lucius Karus di Jakarta, Selasa (22/11/2016).
Sebelumnya, DPP Partai Golkar memutuskan mengganti Ketua DPR Ade Komarudin dengan Setya Novanto karena menilai Novanto tidak terbukti bersalah dalam kasus "papa minta saham".
Lucius mengatakan, umumnya penggantian terhadap jabatan di DPR selalu terkait dengan adanya dugaan pelanggaran etis maupun pidana yang dilakukan oleh seseorang anggota DPR.
"Memang benar UU MD3 menjadikan keputusan parpol sebagai salah satu alasan untuk menggantikan posisi seseorang di DPR, tetapi kan tidak bisa serta merta parpol melakukan upaya penggantian seseorang yang tak bersalah hanya untuk melapangkan jalan bagi orang lain yang lebih berkuasa. Kalau begini kan, nanti partai disebut 'otoriter'," kata dia.
Lucius memandang seandainya DPP Golkar sudah membuat keputusan, langkah selanjutnya untuk mengeksekusi keputusan tersebut tetap saja bukan sesuatu yang mudah.
Jika Ade Komarudin masih menjadi Ketua DPR, maka keputusan untuk mengeksekusi hal itu di DPR sangat mengandalkan persetujuan dari Ade pribadi, sebelum selanjutnya dibawa ke Paripurna.
"Saya kira Golkar harus melakukan konsolidasi internal terlebih dahulu dengan melibatkan Ade Komarudin sendiri. Artinya, demi menghindari kegaduhan, Golkar harus memastikan bahwa suara partai itu satu, sehingga hal itu tak menghidupkan potensi konflik baru," jelas dia.
Lebih jauh Lucius mengatakan jabatan Ketua DPR merupakan jabatan publik. Oleh karena itu, kalau pun partai mempunyai kekuasaan untuk melakukan penggantian terhadap posisi anggotanya di DPR, hal yang harus disadari adalah tanggung jawab partai terhadap publik yang sejatinya merupakan pemilik mandat dari semua wakil rakyat di DPR.
Menurut dia, publik harus diikutsertakan dalam proses terkait dengan tugas anggota DPR selaku wakil rakyat. "Parpol tak bisa secara sewenang-wenang melakukan perubahan tanpa mempertimbangkan hak publik, terutama untuk mendapatkan Ketua DPR yang berintegritas dan berjiwa kepemimpinan, yang memastikan lembaga perwakilan terus bekerja untuk kepentingan rakyat. "