Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MENANGKAN PERKARA: Panitera PN Jakpus Santoso Minta Uang Ratusan Juta

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Santoso disebut meminta uang ratusan juta rupiah sebagai imbalan agar memenangkan perkara perdata di PN Jakpus.
Tersangka kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada PN Jakarta Pusat Doddy Arianto Supeno berjalan keluar mobil tahanan untuk diperiksa KPK, KPK, Jakarta, Rabu (25/5)./Antara
Tersangka kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada PN Jakarta Pusat Doddy Arianto Supeno berjalan keluar mobil tahanan untuk diperiksa KPK, KPK, Jakarta, Rabu (25/5)./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Santoso disebut meminta uang ratusan juta rupiah sebagai imbalan agar memenangkan perkara perdata di PN Jakpus.

"Memang ada perbincangan saya dengan Pak Santoso yang awalnya penawaran terkait perkara 503. Ini berawal dari gugatan, jawaban dan replik yang saya terima sekitar Maret," kata Raoul Adhitya Wiranatakusumah dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

"Saya berbincang dengan Pak Santoso, di situ saya mengeluh kelakuan penggugat. Bahasanya Pak Santoso 'Loe mau gue urusin apa enggak?' Saya katakan 'Urusin bagaimana maksudnya Pak?' lalu dia mengatakan 'Urusin supaya kamu pasti menang', dan saya sampaikan 'Semua orang pasti menang', lalu dia katakan 'Siapkan saja dana ratusan (juta)'", katanya menirukan.

Raoul menjadi saksi untuk anak buahnya Ahmad Yani. Raoul dan Yani didakwa memberi uang sejumlah 28 ribu dolar Singapura kepada dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya melalui panitera PN Jakpus Santoso terkait perkara perdata yang diwakili Raoul yaitu PT Kapuas Tunggal Persada (KTP) sebagai pihak tergugat melawan pihak penggugat PT Mitra Maju Sukses (MMS).

Partahi Tulus Hutapea adalah juga anggota majelis hakim dalam perkara terdakwa Jessica Kumala Wongso divonis 20 tahun penjara dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin, sedangkan hakim Casmaya adalah hakim yang juga banyak menangani perkara korupsi salah satunya anggota majelis hakim dalam perkara suap kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.

"Saya menemui Pak Casmaya pada Desember 2015, untuk menentukan siapa hakim mediator dan kapan mediasinya. Pertemuan ini bersama dengan Pak Santoso dan pihak penggugat. Pertemuan kedua saya datang sendiri karena sudah dijanjikan oleh Pak Santoso dan hakimnya ada di tempat Pak Santoso. Sebelumnya Pak Santoso menyarankan ke saya untuk menyampaikan perubahan gugatan materi pokok perkara yang dilakukan penggugat," tambah Raoul.

Selanjutnya Raoul juga bertemu dengan Partahi dan Casmaya, namun ia membantah dalam pertemuan itu dibicarakan mengenai pemberian uang.

"Apa ada pembicaraan mengenai sesuatu yang akan diberikan ke hakim?" tanya jaksa penuntut umum KPK Pulung Rinandoro.

"Sama sekali tidak ada," jawab Raoul.

"Pada BAP No 6 pengakuan saudara 'Saya bertemu Casmaya 3 kali pertama Desember 2015 sewaktu mediasi dengan pihak penggungat, Kedua pada April 2016 menghadap casmaya dan ada stafnya yang namanya sama dengan saya yaitu Raoul.Obrolan saya dengan Casmaya di pertemuan kedua yaitu tetang perubahan materi gugatan dan saya juga minta atensi Casmaya terkait gugatan dari penggugat yang saya kira tidak tetap. Pertemuan ketiga adalah awal Mei 2016, saya cuma ngobrol sebentar dengan Casmya karena maksud saya adalah untuk menghadap Pak Partahi dan saat ngobrol, Pak Partahi masuk. Ini pertemuan pertama saya dengan Pak Partahi. Saat pertemuan saya membicarakan hal yang sama dengan Pak Casmaya intinya saya mengeluhkan perkara saya berlarut-larut dan banyak kejanggalan. Terakhir pertemuan pada 22 Juni 2016 di ruang hakim lantai 4, saya bertemu dengan Pak Partahi sendirian dengan saya menanyakan jadwal putusan perkara', apakah benar keterangan ini?" tanya jaksa Pulung.

"Benar karena saya hanya minta atensi hakim saja, setiap pertemuan juga selalu atas saran Pak Santoso," jawab Raoul.

"Apa pertemuan itu dilaporkan ke Santoso?" tanya jaksa Pulung.

"Saya sampaikan dan Pak Santoso menawarkan ke saya untuk memenangkan perkara dalam arti kata klien saya tidak wanprestasi dan gugatannya pemohon ditolak, untuk kepentingan itu dia memberikan ide ke saya hal yang harus saya sanggupi yaitu sejumlah uang, saya iyakan saja waktu itu. Pembicaraan saya dengan Santoso berlanjut dengan permintaan dia spesifik nilai uangnya dan disiapkan bentuknya tipis mata uang asing Singapura," jawab Raoul.

Raoul selanjutnya meminta anak buahnya Ahmad Yani untuk bertemu dengan Snatoso dan mengonfirmasi permintaan Santoso yaitu 25 ribu dolar Singapura untuk hakim dan 3 ribu dolar Singapura untuk Santoso atau bila dikonversi menjadi rupiah adalah sekitar Rp300 juta.

"Yang menentukan angka-angka itu Pak Santoso. uang saya ambil pada 24 Juni 2016 dari rekening saya di CIMB Niaga, itu adalah rekening dari pembayaran klien-klien saya," jelas Raoul.

"Ada pemberian dari klien saudara PT KTP?" tanya jaksa Pulung.

"Sama sekali tidak," jawab Raoul.

"Lalu memang pengurusan ini tujuannya untuk siapa? Masa saudara berkorban Rp300 juta karena permintaan saudara sendiri?" tanya jaksa Pulung.

"Ini permintaan saya sendiri. Saya memang mengatakan ke klien kalau kita ada kemungkinan akan kalah. Saya ingatkan lagi ke Pak Wiryo dan Kerry ada jaminan pribadi yang meliputi seluruh harta kekayaan mereka dan kebetulan yang diminta sebagai sita jaminan atau borgtoh," jawab Raoul.

Dalam perkara perdata yang diajukan PT MMS itu, yang menjadi tergugat I adalah PT KTP sedangkan pemiliknya yaitu Carey Ticoalu dan Wiryo Triyono sebagai tergugat II dan III. Harta Carey dan Wiryo akan diambil PT MMS bila mereka kalah dalam perkara perdata tersebut. Namun Raoul sebelumnya sudah meminta Rp550 juta lebih dulu dengan alasan persiapan banding dan kasasi, jaksa menduga Rp300 juta itu juga berasal dari harta Carey dan Wiryo.

"Rp550 juta untuk persiapan banding dan kasasi, saya pikir posisinya akan lebih kuat kalau banding dan kasasi," tambah Raoul berkilah.

Dalam perkara ini, Ahmad Yani dan Raoul didakwa berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; dengan ancaman pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper