Kabar24.com, JAKARTA – Gubernur Gorontalo Rusli Habibie mengajukan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Pengajuan uji materi itu menyoal pasal 7 ayat 2 huruf g yang mengatur seorang calon kepala daerah tidak pernah terjerat kasus pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
Rusli sendiri pada awal Agusutus lalu mendapat putusan kasasi dengan pidana satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas kasus pencemaran nama baik. Terbitnya kasasi itu dia anggap membatasi hak politiknya. Pasalnya, frasa tidak pernah menjadi terpidana itu menutup peluangnya maju ke Pilkada 2017.
Melalui penasihat hukumnya, Heru Widodo, Rusli meminta kepada majelis hakim konstitusi untuk menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional. Selain itu, mereka mengiginkan supaya peraturannya dikembalikan ke Pasal 7 huruf g UU No.8 tahun 2015.
Permintaan itu disampaikan karena dalam undang-undang itu yang dilarang maju ke Pilkada adalah orang yang diancam pidana selama 5 tahun.
“Pilkada serentak tahun 2015 tidak mensyaratkan itu. Sekarang dihapus, semua tindak pidana berlaku,” kata Heru di Jakarta, Rabu (14/9/2016).
Dia melihat, hal itu syarat dengan muatan politis. Pasalnya, dengan pemberlakuan undang-undang yang baru tersebut, para lawan politiknya akan leluasa untuk menyerang kliennya tersebut, terlebih posisi Rusli sebagai petahana.
Dia mencontohkan, pada pasal Pasal 163 UU No 10 Tahun 2016 misalnya. Pasal tersebut menyebutkan orang yang berstatus terdakwa apabila terpilih kemudian dilantik langsung diberhentikan sementara.
“Sedangkan kalau statusnya sudah terdakwa, orang yang terpilih itu akan diberhentikan tetap, ini potensi bagi lawan politik untuk memperkarakan orang yang sudah terpilih itu besar sekali. Makanya kami uji materikan di MK supaya sinkron,” imbuhnya
Dia juga menambahkan, undang-undang Pilkada juga tidak sinkron dengan undang-undang yang lain. Salah satunya dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Dalam undang-undang tersebut seorang kepala daerah bisa diberhentikan jika dia ditetapkan sebagai terpidana berdasarkan kekuatan hukum tetap yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih.
Dalam perkara itu, jelas secara konstitutional kliennya sangat dirugikan. Muatan politis itu juga tampak, pasalnya putusan MA yang menjatuhkan hukuman percobaan itu terbit menjelang masa pendaftaran calon Pilkada 2017 dibuka. “Kalaupun itu turun, namun jika UU No.8 tahun 2015 yang diterapkan dia tetap bisa mencalonkan diri,” katanya.
Majelis hakim konstitusi sendiri menanggapi pernyataan dari penasihat hukum tersebut. Hanya saja, sebelum memutuskan menerima permohonan atau tidak, mereka memerintahkan kepada pemohon dalam hal ini Rusli Habibe untuk memeriksa dan melihat kronologi putusan MK terkait Pilkada. Sebab, mereka khawatir jika undang-undang tersebut dibatalkan akan tidak sinkron dengan undang-undang lainnya.
Rusli Habibie sendiri menjadi terpidana dalam kasus pencemaran nama baik bekas Kapolda Gorontalo yang kini menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol. Budi Waseso. Kala itu Budi yang masih berpangkat Inspektur Jendral melaporkan Rusli ke Polda Gorontalo.
Adapun perkara pencemaran nama baik itu mencuat setelah Rusli mengirimkan surat kepada Kapolri.Dalam suratnya tersebut Rusli menyampaikan keperpihakan Buwas kepada salah satu kandidat calon dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Gorontalo. Rusli sendiri dijerat dengan pasal 317 ayat 1 dan 2 subsider pasal 311 ayat dan 2 juncto pasal 316 KUHP dengan hukuman maksimal 4 tahun kurungan.