Tarman Azzam menyetir sendiri mobilnya untuk bersilaturahim kepada wartawan senior Lukman Setiawan, 82, di bilangan Ancol, Jakarta Utara. Dengan suara lantang nya dan logat Melayu yang kental, Tarman menguluk salam.
Sontak, suasana menjadi riuh. Meminjam istilah anak sekarang, “pecah”.
Itulah Tarman yang ketika ia datang selalu memberi warna. Dia lalu bercerita tentang masa-masa sulit koran Bisnis Indonesia sejak terbit pertama kali 14 Desember 1985. “Saya membantu Bisnis Indonesia sejak awal terbit sesuai permintaan pemimpin redaksi Pak Amir Daud dan wakil pemimpin umum Bang Lukman Setiawan sebagai wartawan,” kata Tarman ketika itu.
Namun, kata Tarman, dia belum dapat memenuhi permintaan itu karena berbagai pertimbangan. Akhirnya sebagai jalan tengah ia tetap memberikan kontribusi berita dari Istana Kepresidenan selama tujuh tahun.
Memang pada akhir 1980-an, jika Tarman datang ke kantor redaksi Bisnis Indonesia di Jalan Kramat V, Jakarta Pusat, wartawan muda langsung mengerubunginya untuk mendapatkan informasi eksklusif dari Istana, tentu saja off the record. Maklum, berita yang Tarman kirimankan merupakan untuk edisi esok harinya, hanya merupakan informasi resmi yang disampaikan oleh pemerintah.
Ketika itu tak ada koran maupun media lain yang berani memuat berita yang bertentangan dengan kehendak Orde Baru. Pria bersuara bagus yang suka melantunkan lagu Melayu itu lalu bercerita tentang gaya Pak Harto memimpin rapat sidang kabinet, prilaku menteri, dan pejabat lain di luar kerja. Kami yang mendengarkan ceritanya mendapatkan pencerahan tentang perkembangan ekonomi dan politik terbaru.
CERITA LUCU
Sesekali Tarman cerita lucu tentang sisi lain Istana dan keluarga Cendana hingga mengundang gelak tawa para wartawan di ruang redaksi.
Meskipun ia pekerja keras dan penuh antusias, namun ayah satu anak itu selalu tampil gembira dan banyak canda. Sebagai wartawan senior, sesekali ia diminta membaca doa ketika ulang tahun koran ini.
“Janganlah abang yang membaca doa karena masih suka melihat leher yang jenjang,” candanya. Tarman suka olah raga. Ketika pertandingan sepak bola antarmedia, dia datang ke lapangan. Hobi lainnya adalah menyanyi. Lagu yang suka dilantunkannya a.l. Fatwa Pujangga dan Semalam di Malaya.
Bagi Tarman, Bisnis Indonesia membawa berkah dalam hidupnya. Honor dari tulisan yang dikirimkan selama menjadiwartawan, tak dikonsumsi untuk kebutuhan rumah tangga.
“Amplopnya langsung saya serahkan ke istri dan ditabung hingga bisa membeli sebidang tanah di Bogor yang kini menjadi vila untuk istirahat.”
Di mata Ahmad Djauhar, Wakil Ketua Dewan Pers, Tarman merupakan pribadi yang supel, hangat, dan ramah. Selalu saja ada cerita menarik jika sedang bertemu dengannya.
Ketika sedang berpidato pun, publik dibuat tak beranjak dari tempat duduknya, karena materi yang disampaikannya selalu berbeda dengan pidato yang disampaikan sebelum-sebelumnya.
Selain memikat, menurut Djauhar, gaya orasinya yang renyah dengan bahasa yang runtut itu rupanya menjadi momentum yang selalu ditunggu-tunggu para audiens yang untuk itu tidak segan memberikan aplaus.
Kamis pekan lalu, menurut dia, Dewan Pers baru saja menyerahkan kartu dan sertifikat kompetensi kepada Bang Tarman sebagai Wartawan Utama, yang seharusnya sudah diterimanya sekitar lima tahun silam.
“Dengan memiliki status resmi sebagai Wartawan Utama, Tarman Azzam dengan pengalamannya di dunia jurnalistik se lama puluhan tahun itu dianggap mumpuni sebagai jurnalis komprehensif, karena selain matang dengan tugas lapangan juga berpengalaman cukup lama memimpin ruang redaksi sebuah koran sore.”
Kini Tarman istirahat untuk selamanya. Kemarin dia berpulang ke rahmatullah di Ambon sekitar pukul 09.00 WIT. Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama dua periode 1998-2003 dan 2003-2008, itu berkunjung ke Ambon untuk menghadiri persiapan peluncuran Hari Pers Nasional (HPN) 2017.
Menurut istri almarhum, Aas Tarman Azzam, pukul 04.00 kemarin dia mendapatkan telepon dari suaminya dan mengabari bahwa kondisi kesehatannya kurang baik. “Mah, doain hari ini agar bisa pulang ke Jakarta tapi nggak tahu jam berapa,” kata sang istri menirukan Tarman. Ternyata itu percakapan terakhir dari suaminya.
Sang istri tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Namun, kedatangan para sahabat ke rumah duka, membuat wanita paruh baya itu tegar. Pergaulan almarhum
yang luas tercermin dari banyaknya karangan bunga tanda duka cita mulai dari Mendagri Tjahjo Kumolo, Mensos Khofifah Indar Parawansa, pemerintah provinsi hingga pejabat militer.
Tarman Azzam adalah saksi hidup perjalanan pers Indonesia. Bagi Banjar Chaeruddin, sahabat Tarman sesama pengurus PWI, sejak menjadi reporter di Harian KAMI dan Radio ARH, Tarman sangat aktif berorganisasi.
Hingga saat ini, dia ceramah di mana-mana dan ba nyak pergi ke daerah, menanamkan rasa kebangsaan, di mana pun atau di depan siapa pun dia bicara.
Kemarin ketika dia bersiap jalan ke Lampung, berita kematian itu datang. “Kami masih bercanda via telepon. Suaranya ken tal seperti biasa, dia ingin kumpul untuk makan dan bernyanyi,” kata Banjar.
Jenazah almarhum tadi malam diterbangkan dari Ambon dan di semayamkan di rumah duka yang dijejali ratusan pelayat. Hari ini pukul 09.00 jenazah dimakamkan di TPU Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur. Selamat jalan Bang Tarman. Kami ikhlas melepasmu.
Tarman Azzam, Sampai Akhir Hayat Mengurus Pers
Tarman Azzam menyetir sendiri mobilnya untuk bersilaturahim kepada wartawan senior Lukman Setiawan, 82, di bilangan Ancol, Jakarta Utara. Dengan suara lantang nya dan logat Melayu yang kental, Tarman menguluk salam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
19 menit yang lalu
Politisi PDIP Minta Galeri Nasional Buka Pameran Lukisan Yos Suprapto
36 menit yang lalu
Peneliti BRIN: Partai Politik Tak Serius Sukseskan Pilkada dan Pemilu
1 jam yang lalu