Bisnis.com, BANDUNG--Pemerintah Jawa Barat didesak untuk melakukan intensifikasi serta ekstensifikasi lahan kakao dengan menanam benih bersertifikat di provinsi tersebut guna mendongkrak pertumbuhan produksi yang semakin menurun.
Koordinator National Reference Group (NRG) on Kakao Jawa Barat Iyus Supriyatna mengatakan pemerintah bisa menyebarkan benih bersertifikat hasil rekomendasi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Jember, Jawa Timur.
Menurut dia, bibit kakao dari Puslitkoka Jember merupakan salah satu yang terbaik di dunia, sehingga Jabar akan mampu memproduksi komoditas itu dengan kualitas sangat tinggi.
“Selain Puslitkoka, setifikasi benih dapat juga dilakukan oleh dan diperoleh dari Dinas Perkebunan Jabar. Akan tetapi, tetap biasanya rekomendasinya dari Puslitkoka,” katanya kepadaBisnis.com, Rabu (7/9).
Dia menerangkan produktivitas kakao unggul mencapai 2-2,5 ton biji kakao kering/hektare (ha)/ tahun, dengan populasi tanaman 1.600-2.000 pohon/ha. Namun, saat ini produktivitas kakao di Jabar hanya mencapai 250-500 kg biji kakao kering/ha/tahun.
Kondisi ini membuat petani enggan kembali memproduksi kakao karena tidak memperoleh keuntungan yang besar. Di sisi lain, perhatian pemerintah untuk mengganti tanaman yang sudah tua dengan bibit baru masih sangat minim.
“Petani lebih banyak memilih komoditas lain seperti singkong, pepaya, dan lainnya yang nilai ekonominya lebih menguntungkan,” sebut Iyus.
Adapun, luas existing perkebunan kakao di Jabar mencapai 7.000 ha yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pangandaran.
Oleh karenanya, pemerintah perlu menggencarkan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan perkebunan kakao mulai saat ini mengingat potensi dari Jabar bisa dioptimalkan untuk pasar domestik maupun ekspor.
“Apabila sudah menyebarkan bibit kakao bersertifikat, pemerintah tetap harus mendampingi petani agar pemeliharaan tanaman sesuai dengan aturan,” katanya.
Terkait sertifikasi perkebunan, sambungnya, saat ini belum ada satupun perkebunan kakao rakyat yang disertifikasi. Petani belum melakukan sertifikasi perkebunan karena tidak memiliki modal yang besar.
“Untuk sertifikasi 1 ha lahan diperlukan dana sekitar Rp4 juta. Baru satu perusahaan swasta di Cianjur seluas 500 ha yang sudah melakukan sertifikasi,” ujarnya.