Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

KPK Periksa Anggota DPR Dari Partai Demokrat

Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrat Rinto Subekti terkait dugaan korupsi pemberian suap pengurusan anggaran pembangunan jalan 12 ruas Sumatera Barat dalam APBN Perubahan 2016.
Penyidik KPK/Antara
Penyidik KPK/Antara

Bisnis.com, JAKARTA -  Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Demokrat Rinto Subekti terkait dugaan korupsi pemberian suap pengurusan anggaran pembangunan jalan 12 ruas Sumatera Barat dalam APBN Perubahan 2016.

"Rinto Subekti diperiksa untuk tersangka IPS (I Putu Sudiarta) dan YA (Yogan Askan)," kata Pelaksana tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Jumat (19/8/2016).

Rinto diketahui juga merupakan anggota Komisi X DPR. Selain Rinto, KPK juga memanggil staf ahli anggota DPR Iqbal, Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyas Titi dan Kepala Cabang Bank Mandiri Neny Tritana.

Pada Kamis (18/8), KPK sudah memeriksa anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Gerindra yang juga anggota Banggar Wihadi Wiyanto dalam kasus yang sama. KPK memang menggali pertemuan-pertemuan yang diduga dilakukan Putu Sudiarta dengan sejumlah anggota Banggar terkait alokasi anggaran pembangunan 12 ruas jalan di Sumbar teresbut.

"Wihadi hari ini diperiksa sebagai saksi untuk IPS (I Putu SUdiarta) dan YA (Yogan Askan). Dia sebagai anggota Komisi III tentu didalami peran apa yang dia ketahui kalau dalam kaitan dengan banggar, apakah ada yang sempat dibicarakan dengan tersangka," ungkap Yuyuk, Kamis (18/8).

Namun KPK belum membuat kesimpulan mengenai peran banggar dalam kasus tersebut, informasi awal mengenai kaitan banggar berasal dari Putu Sudiarta yang menyatakan mengenai peran banggar dalam kasus ini.

"Sampai saat ini belum bisa disimpulkan apakah ada kaitan banggar tadi dengan kasus ini tapi semua pihak yang diduga mengetahui perkara ini akan dipanggil," tambah Yuyuk.

Kasus ini berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 28 Juni 2016 terhadap anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Demokrat I Putu Sudiarta, Sekretaris Putu Novianti, suami Novianti Muchlis, pengusaha Suhemi, pengusaha yang juga pendiri Partai Demokrat Sumbar Yogan Askan dan Kepala Dinas Prasarana, Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman Sumbar Suprapto di beberapa lokasi di Jakarta, Padang dan Tebing Tinggi.

KPK menyita barang bukti transfer pemberian suap senilai Rp500 juta yang sudah diberikan secara bertahap yaitu Rp150 juta, Rp300 juta dan Rp300 juta. Penyidik juga menemukan 40.000 dolar Singapura yang masih diusut peruntukannya.

Uang suap diduga terkait rencana Dinas Prasarana Tata Ruang dan Permukiman yang akan membuat 12 ruas jalan senilai Rp300 miliar selama 3 tahun menggunakan APBN Perubahan 2016. Hal ini menimbulkan keanehan karena Putu berada dalam komisi yang tidak mengurusi soal infrakstruktur.

KPK pun menetapkan I Putu Sudiarta, Novianti dan Suhemi sebagai tersangka penerima suap dengan sangkaan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Tersangka pemberi suap adalah Yogan Askan dan Suprapto ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaan pasal pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : ANTARA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper