Kabar24.com, JAKARTA - Nurhadi mengaku merobek dokumen di rumahnya karena ia mengaku tidak tahu siapa yang mengirim dan dia tak suka dengan dokumen tersebut.
Demikian dikatakan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi terkait sobekan dokumen yang didapat penyidik KPK dari hasil geledah di rumahnya di Jalan Hang Lekir V no 6 Jakarta Selatan setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 20 April 2016.
"Pada 19 April 2016 pada saat saya pulang kerja sekitar pukul 20.00 WIB di meja di lantai 2 rumah saya ada 2 dokumen amplop cokelat, 1 tebal 1 sangat tipis. Saya tidak tahu siapa yang mengirim dokumen karena saya tidak pernah minta untuk dikirim. Saya buka yang tebal saya hanya membaca sepintas ternyata itu fotokopi putusan perkara tapi pihaknya adalah Bank Danamon, itu agak tebal lalu karena itu masalah perdata dan saya tidak suka urusan begitu lalu saya masuk ke kamar dan berkas itu saya robek lalu saya masukkan ke dalam tempat sampah," kata Nurhadi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (15/8/2016).
Nurhadi menyampaikan hal itu saat menjadi saksi untuk Doddy yang didakwa memberikan suap Rp150 juta kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution untuk menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Kwang Yang Motor Co.LtD (PT Kymco) dan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) dan PT First Media.
Dalam dakwaan, JPU KPK menyatakan Nurhadi pernah menghubungi panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution agar segera mengirimkan berkas PK PT AAL dari PN Jakpus ke MA. Padahal berdasarkan putusan kasasi MA 31 Juli 2013 PT AAL dinyatakan pailit. Atas putusan kasasi tersebut hingga batas waktu 180 hari PT AAL tidak melakukan upaya PK. Namun Eddy Sindoro pada pertengahan Februari 2016 memerintahkan pengajuan PK meski waktunya sudah lewat dengan balasan Rp50 juta kepada Edy Nasution yang diberikan melalui Doddy pada 20 April 2016.
"Amplop yang tipis termasuk yang dirobek, saya buka sepintas saja tapi saya tidak ingat perkara apa saja," ungkap Nurhadi.
Nurhadi juga membantah bahwa amplop tipis berisi surat kepada Nurhadi yang diistilahkan sebagai promotor untuk mengurus perkara tersebut seperti yang pernah ditunjukkan pada sidang sebelumnya.
"Saya tidak perhatikan bentuknya pointer atau apa karena saya hanya baca itu fotokopi perkara dan langsung saya robek," tambah Nurhadi.
Bahkan Nurhadi mengungkapkan keheranannya robekan kertas tipis itu oleh penyidik ditunjukkan dalam tiga bungkus plastik besar.
"Disita tapi yang saya heran saat ditunjukkan di penyidikan justru menjadi 3 plastik besar, bisa saja dokumen itu difotokopi lalu disobek-sobek, karena kan dokumen itu tipis tapi menjadi 3 kantong besar. Saat rekonstruksi kok jadi banyak dan bukan putusannya Danamon," tambah Nurhadi.
Nurhadi pun mengaku tidak tahu siapa pengirim dokumen itu.
"Saya tidak tahu pengirimnya, bahkan supaya dipahami di sini penyitaan di kediaman tanggal 20 April sedangkan OTT (Operasi Tangkap Tangan) Pak Doddy dan Pak Edy tanggal 19 malam. Tanggal 19 berkas itu sudah ada, jadi saya robek sebelum ada penyitaan," jelas Nurhadi.
Sehingga Nurhadi pun mengaku tidak tahu maksud pengiriman tersebut.
"Waktu penyitaan pernah disita dokumen robek di kamar Tin Zuraida (istri Nurhadi)," tanya jaksa KPK Joko Hermawan.
"Keberatan yang mulia, karena tidak ada kaitannya," jawab Nurhadi.
Salah satu surat yang dibuat oleh bagian legal PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti adalah sebagai berikut:
Terlampir kami sampaikan surat panggilan Aanmaning kedua atas putusan SIAC No 62 tahun 2013 ARB No 17B tahun 2010jo 23/PDT/ARB-INT/2013/PN.JKT.PST ddalam perkara antara Kwang Yang Motor CO Ltd melawan PT Metropolitan Tirta Perdana.
Terhadap aanmaning tersebut kami berkoordinasi dengan pansek PN Pusat dimana aanmaning tersebut akan ditunda dan akan dilakukan panggil ulang pada Januari 2016 pararel dengan hal tersebut lawyer akan memasukkan surat tanggapan.
Mohon bantuan agar 1. Aanmaning diunda menungu kesiapan lawyer memberikan tanggapan 2. Kabul penetapan non eksutabel/tidak dapat diesksekusi atau putusan SIAC tersebut terima kas.
Dalam sidang 27 Juli 2016, terungkap bahwa promotor yang dimaksud adalah mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
"Siapa promotor itu?" tanya ketua majelis Sumpeno dalam sidang Rabu (27/7).
"Yang saya dapat dari Pak Doddy yang dimaksud promotor itu Pak Nurhadi," jawab Hesti.