Kabar24.com, JAKARTA – Dalam sepekan nama Haris Azhar melejit. Beberapa memuji, lainnya mengkritisi, yang pasti tulisan Haris Azhar dengan judul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit” telah membuat gerah sejumlah petinggi di negeri ini.
Buktinya kurang dari sepekan tulisan itu diunggah ke media sosial, tiga lembaga penegak hukum melaporkan Haris ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Dia diadukan dengan sangkaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Masyarakat dunia maya pun merespons tindakan BNN, TNI, dan Polri dengan membuat gerakan #SayaPercayaKontras melalui linimasa media sosial. Tanda pagar itu sempat menjadi topik terpopuler di Twitter Indonesia.
Tak hanya itu, dukungan juga mengalir dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Ketua Umum Peradi Luhut Pangaribuan menyatakan ada 120 hingga 130 pengacara yang siap memberikan bantuan hukum kepada Haris. Dukungan itu akan diberikan secara pro bono atau gratis dengan sebaik-sebaiknya.
Pihak yang kontra atau meragukan cerita Haris juga tidak sedikit. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo meminta Haris beberkan semua bukti yang dimiliki terkait pengakuan gembong narkotika Freddy Budiman. Sebab tanpa bukti kuat, informasi yang diberikan Haris melalui media sosial saat ini hanya menjadi bola liar.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen. Pol. Boy Rafli Amar juga meragukan keterangan yang dipublikasikan Haris. Apalagi keterangan itu didapat dari Freddy yang berstatus sebagai bandar dan pemakai narkotika. Verifikasi mengenai pengakuan Freddy kepada Haris pun tidak bisa dilakukan, karena yang bersangkutan telah dieksekusi.
Haris yang juga Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengaku mendapatkan pengakuan Freddy pada 2014 di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Jawa Tengah. Tulisan itu tentang pengakuan Freddy itu baru dipublikasikan beberapa jam menjelang Freddy dieksekusi mati pada 29 Juni 2016 dini hari.
Dalam pertemuan itu, Freddy, tulis Haris menceritakan bahwa ada sejumlah oknum di kepolisian, BNN, dan TNI yang terlibat dalam bisnis narkotika yang ia jalankan. Dituliskan bahwa Freddy telah menyetor Rp450 miliar kepada BNN dan Rp90 miliar untuk kepolisian selama beberapa tahun berkerja sebagai penyelundup narkotika.
Bahkan Freddy juga mengaku pernah menggunakan fasilitas mobil TNI bersama jenderal saat membawa narkotika dari Medan ke Jakarta.
“Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun,” demikian dikatakan Freddy, dikutip langsung dari Cerita Busuk dari Seorang Bandit.
Selain itu, para pejabat juga kerap menitip harga. Harga sebutir pil ekstasi dari Tiongkok hanya Rp5.000, sementara bisa di jual kepada konsumen di Indonesia hingga ratusan ribu rupiah. Menurut penuturan Freddy, pejabat sering meminta ekstasi yang telah diselundupkan ke Indonesia dengan harga Rp20.000 hingga Rp30.000.
Chandra Hamzah, pengacara yang juga pernah menjadi Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan apa yang dilakukan Haris serupa dengan kisah Teten Masduki dan rekan-rekan Indonesia Corruption Watch (ICW) ketika membongkar kasus korupsi Jaksa Agung masa pemerintahan B.J Habibie, Andi M. Ghalib. Peristiwa itu menjadi bersejarah karena pertama kalinya lembaga swadaya masyarakat berhasil memaksa pejabat tinggi turun dari jabatannya.
Chandra juga menyamakan Haris dengan Munir yang berjuang untuk kemanusiaan melalui Kontras, tetapi dari sisi pemberantasan narkoba. Dia menilai respons para penegak hukum justru memberikan preseden yang tidak baik bagi upaya pemberantasan narkotika. “Pelaporan Haris justru memberikan pesan yang salah kepada publik terkait upaya pemberantasan narkoba,” kata Chandra.
Sementara Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis memuji keberanian Haris menyebarluaskan pengakuan Freddy. Todung berharap nasib Haris tidak akan seperti almarhum aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir yang diracun di atas pesawat.
Todung menilai, reaksi dari para penegak hukum menunjukan sikap antikritik. Hal yang ditulis Haris adalah kepentingan umum. Isu yang dibela adalah menguak tangan-tangan penguasa yang tidak terlihat untuk melanggengkan bisnis narkotika. Oleh karena itu dia meminta Presiden Joko Widodo mengambil sikap dengan membentuk tim independen untuk mengusut hingga tuntas.
Pemerhati HAM ini juga menjelaskan bahwa kasus Haris mirip dengan tuntutan Soeharto kepada Majalah Time. Di mana pada tahun 1999 mantan Presiden Soeharto mengajukan gugatan terhadap berita yang dianggap menuduh secara tidak langsung. Time digugat karena dianggap telah melakukan penghinaan.
Pada akhirnya, Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung menolak semua gugatan. Selain dari pertimbangan sisi jurnalistik, tergugat atau Majalah Time disebut telah mengeluarkan pemberitaan yang mempunyai unsur untuk kepentingan umum. “Kasus itu bisa menjadi rujukan,” ujarnya.