Kabar24.com,JAKARTA— Sehari setelah pembunuhan massal di fasilitas bagi penyandang difabel banyak warga Jepang yang terkejut dan mempertanyakan kenapa satu-satunya tersangka dikeluarkan dari rumah sakit hanya dalam dua minggu setelah dia secara paksa dikirim ke sana di bawah undang-undang kesehatan mental.
Beberapa orang juga penasaran kenapa tersangka yang telah mengirimkan surat pada Februari lalu dan mengatakan dia akan membunuh para penyandang cacat, tidak berada dalam pengawasan setelah dia keluar dari rumah sakit.
“Putusan mendapatkan perawatan dilakukan secara paksa oleh otoritas. Jika waktunya lebih lama dari yang seharusnya, maka kasus ini akan menjadi pelanggaran serius hak azasi manusia,” sebut harian Asahi dalam editorialnya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (27/7/2016).
Namun, harian tersebut juga menyebutkan adanya tanda-tanda peringatan. “Apakah perawatan dan monitor atas pasien tersebut memadai?” tulis harian tersebut.
Tersangka yang berusia 26 tahun, Satoshu Uematsu, menyerahkan diri ke polisi sejam setelah dia melakukan serangan di pusat fasilitas penyandang difabel Tsukui Yamayuri-En. Korbannya ditusuk hingga meninggal dan 25 warga lain di fasilitas tersebut juga terluka.
Dalam sebuah Surat kepada politisi tingkat atas dia mengatakan bahwa dirinya bisa melenyapkan 470 penyandang cacat. Dia bahkan membeberkan rencana detail terkait bagaimana dia akan melakukan aksinya, termasuk menerobos ke dalam pusat fasilitas tersebut pada malam hari dan menargetkan beberapa orang dengan tingkat kecacatan akut.
Setelah ditanyai oleh polisi dan menceritakan kembali hal apa saja yang akan dia lakukan, Uematsu dikirim ke rumah sakit pada 19 Februari dan dibebaskan pada 2 Maret setelah seorang dokter menyebut dia telah membaik dan tidak lagi berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Dengan sejumlah tanda-tanda tersebut, beberapa media mainstream mengajukan pertanyaan apakah pembebasan Uematsu dari rumah sakit terlalu cepat, apakah dia mendapatkan pemeriksaan positif untuk penggunaan marijuana dan menunjukkan tanda-tanda paranoia.
Experts said there were no legal limits on the length of involuntary hospitalisation but a discharge was required once the patient was no longer deemed a danger to himself or others. The decision is up to the doctors, so it's difficult to second guess.
Para ahli mengatakan tidak ada batasan hukum terkait lamanya perawatan yang dilakukan di bawah perintah otoritas. Namun, pasien harus dikeluarkan jika dia telah membaik dan tidak lagi berbahaya.