Kabar24.com, ZEYNITA GIBBONS, London - Rencana eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah terpidana narkoba di Indonesia mendapat respons kalangan internasional.
Amnesty International memperbarui seruannya kepada pihak berwenang di Indonesia agar menepati janji semasa Pemilu untuk memperbaiki penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dengan segera menerapkan moratorium eksekusi mati.
Amnesty International menentang hukuman mati tanpa syarat, bagi semua kasus dan di dalam situasi apa pun, kata Josef Roy Benedict, Wakil Direktur Kampanye Amnesty International wilayah Asia Tenggara dan Pacific, Rabu (27/7/2016).
Seperti diketahui, Jaksa Agung dan pihak berwenang mengumumkan dalam wawancara dengan media di Indonesia akan melaksanakan gelombang ketiga eksekusi mati.
Amnesty International meminta Indonesia meninjau hukuman mati, dan mengubah semua vonis mati dan menghapuskannya dari legislasi nasional sekarang dan untuk selamanya.
Pernyataan Jaksa Agung mengindikasikan lebih dari dua orang akan dieksekusi dan mereka yang berisiko akan dieksekusi mati segera mencakup warga negara Indonesia, Nigeria, dan Zimbabwe.
Pada 24 dan 25 Juli dua terpidana mati Zulfiqar Ali, warga negara Pakistan yang baru saja dipindahkan ke rumah sakit karena kondisi kesehatan yang kronik, dan warga negara Indonesia Merri Utami dipindahkan ke penjara di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah.
Keluarga tahanan di penjara Pulau Nusakambangan memberi tahu kepada media kunjungan ditiadakan selama seminggu. Beberapa perwakilan diplomatik diundang mengunjungi terpidana mati dari negeri masing-masing di Cilacap, mengindikasikan eksekusi mati akan dilakukan paling cepat pada 30 Juli.
Namun demikian, hingga hari ini, pihak berwenang Indonesia belum memberikan keterangan resmi kepada para keluarga dan pengacara terpidana mati, atau mengumumkan kapan eksekusi mati ini akan dilakukan.
Amnesty International prihatin beberapa di antara terpidana yang mungkin akan dieksekusi mati minggu ini belum bisa mengajukan permohonan grasi kepada presiden. Pernyataan pihak berwenang terkait penerapan hukuman mati sangat memprihatinkan.
Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014, menjanjikan penghormatan terhadap HAM. Namun demikian, pemerintahan di bawahnya terus menunjukan penolakan besar terhadap kewajiban HAM Indonesia dan jaminan perlindungan internasional yang harus dijalankan di semua kasus hukuman mati.
Presiden menyatakan secara publik pada Desember 2014 pemerintah Indonesia akan menolak semua permohonan grasi yang diajukan terpidana mati untuk kasus narkotika, dengan menyatakan kejahatan semacam ini tidak layak mendapatkan pengampunan.
Pihak berwenang Indonesia menyatakan menerapkan hukuman mati sesuai dengan hukum dan standar internasional, dengan mengklaim eksekusi mati dibutuhkan untuk melawan tingginya kasus kejahatan narkotika di negeri tersebut.
Walaupun tidak ada bukti efek jera dengan penggunaan hukuman mati, kejahatan narkotika tidak memenuhi ambang batas kejahatan paling serius di mana penggunaan hukuman mati harus dilarang di bawah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, sebuah hukum perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
Amnesty International dan organisasi HAM nasional lainnya mendokumentasikan pelanggaran dari hak atas peradilan yang adil dan hak-hak fundamental lainnya di beberapa kasus hukuman mati, yang menunjukan sistem hukum pidana di mana jaminan terhadap perampasan hak hidup secara semena-mena secara rutin diabaikan.
Sebelum penghapusan penuh hukuman mati di Indonesia, Amnesty International memperbaharui seruannya kepada pihak berwenang untuk menghentikan eksekusi mati dan mengambil langkah segera untuk memastikan semua kasus hukuman mati ditinjau badan independen dan tidak memihak, dengan pandangan untuk mengubah vonis mati tersebut.
Secara khusus, dalam kasus hukuman mati yang diterapkan kepada kejahatan narkotika, atau ketika persidangannya tidak memenuhi standar yang tinggi dari peradilan yang adil atau ketika penanganan proses hukumnya secara serius cacat, pihak berwenang yang relevan harus memastikan adanya persidangan ulang yang secara penuh sesuai dengan standar internasional tentang peradilan yang adil dan tidak menggunakan hukuman mati.