Kabar24.com, PALEMBANG - Niat hati menawarkan diri jadi justice collaborator, apa daya jaksa dari KPK menolak permintaan tersangka kasus suap DPRD Musi Banyuasin.
Tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menolak permohonan justice collaborator yang diajukan terdakwa penerima suap Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan ke anggota DPRD, Islan Hanura dan Aidil Fitri.
Ketua Tim JPU KPK Mohammad Wirasakjaya seusai sidang mendengarkan pembacaan pledoi terdakwa empat pimpinan DPRD Muba di Pengadilan Tipikor Palembang, Senin (2/5/2016), mengatakan permintaan dua terdakwa yang menjabat wakil ketua DPRD ini ditolak lantaran keduanya merupakan pelaku utama.
"Syarat 'JC' haruslah bukan pelaku utama, dan kedua terdakwa ini tidak masuk kategori itu," kata Wirasakjaya.
Dalam nota pembelaan Islan Hanura diketahui bahwa yang bersangkutan sangat sedih lantaran permohonan justice collaborator-nya ditolak jaksa.
Padahal, jika permohonan tersebut dikabulkan maka ia bersedia membuka secara terang benderang kasus pemberian suap pemkab ke anggota DPRD tersebut.
Demikian juga dengan Aidil Fitri yang sangat berharap diberikan kesempatan untuk menjadi justice collaborator agar mendapatkan keringanan hukuman.
"Saya juga kecewa mengapa keinginan saya untuk justice collaborator ditolak KPK, bagi saya satu hari di penjara seperti sebulan dan satu bulan seperti setahun. Saya sangat terpukul," kata dia.
Istilah whistle blower dan justice collaborator kini kerap muncul dalam penanganan kasus korupsi di KPK.
Status justice collaborator belum lama ini diberikan kepada Gubernur Sumatera Utara Gatot Puji Nugroho dan istrinya yang terjerat kasus suap ke Kepala PTUN Medan.
Sementara itu dalam fakta persidangan kasus suap Musi Banyuasin terungkap peran masing-masing pimpinan DPRD untuk meminta uang ke pemkab terkait dengan pengesahan RAPBD dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban bupati.
Berdasarkan keterangan saksi Bambang Karyanto (ketua Fraksi PDI-P) disebutkan bahwa Islan Hanura meminta tambahan uang setelah setoran pertama yang khusus diberikan ke pimpinan DPRD.
Sementara Aidil Fitri disebutkan saksi turut menerima uang setoran pertama Rp100 juta dan setoran kedua Rp50 juta yang khusus diberikan ke pimpinan DPRD.
"Saya sangat menyesal atas kealpaan ini, bukan hanya saya yang menanggung malu tapi keluarga besar saya juga, istri dan anak-anak," ucap Aidil Fitri.
Jaksa menjerat empat pimpinan DPRD ini dengan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 KUH Pidana.
Tim Jaksa yang diketuai Mohammad Wirasakjaya menjatuhkan tuntutan hukuman penjara selama 5,5 tahun dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan bagi Riamon Iskandar, Islan Hanura, dan Aidil Fitri.
Sementara Darwin AH dituntut selama 7 tahun penjara denda Rp300 juta subsider lima bulan kurungan.
Kasus suap ini terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Karyanto pada 19 Juni 2015.
Pada saat ini, dilakukan penyerahan sisa kesepakatan suap yang menjadi angsuran ketiga yakni senilai Rp2,56 miliar, sementara angsuran pertama Rp2,65 miliar dan angsuran kedua Rp200 juta khusus untuk empat pimpinan DPRD sudah diserahkan lebih dahulu.