Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Referendum di Inggris, Dukungan Opsi Penolakan Brexit Menguat

Inggris dinilai belum siap terlepas dari Uni Eropa yang segera pulih dari krisis.
Peserta forum memegangi dokumen laporan yang dipublikasikan oleh Bank Sentra Inggris tentang dampak ekonomi di Bristol and Bath Science Park di di Bristol. /reuters
Peserta forum memegangi dokumen laporan yang dipublikasikan oleh Bank Sentra Inggris tentang dampak ekonomi di Bristol and Bath Science Park di di Bristol. /reuters

Kabar24.com, JAKARTA - Menjelang proses referendum tentang keluar atau tidaknya Inggris dari keanggotannya di Uni Eropa atau yang dikenal sebagai (British Exit/Brexit) yang akan digelar dua bulan mendatang, arus dukungan dari luar negeri agar negara itu tetap bertahan terus mengalir.

Baru-baru ini negara mitra strategis Negeri Ratu Elizabeth seperti Amerika Serikat (AS) dan Prancis ikut menyampaikan dukungan agar Inggris tetap bertahan di Uni Eropa. Kondisi ini tentu saja akan menjadi rintangan tersendiri bagi kubu pro-Brexit yang masih mengandalkan hasil survei-survei sebagai media kampanyenya.

Kepala Bank Sentral Prancis  Francois Villeroy de Galhau dalam pidatonya pekan lalu mengharapkan sangat berharap agar Inggris tetap di Uni Eropa. Pasalnya, situasi tersebut akan merugikan bagi kedua kubu.

“Inggris perlu Eropa dan sebaliknya juga, saya tentu sangat ingin agar Inggris tetap di Eropa. Sebab dampaknya akan cukup besar kepada kedua kawasan jika Brexit terlaksana,” katanya.

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa, menurutnya, akan membuat negara tersebut lebih leluasa dalam memberlakukan pasar keuangan tunggal. Namun, risiko besar justru akan muncul pada pasar keuangan dan moneter Inggris.

Villeroy melihat bahwa Inggris masih belum terlalu siap untuk memberlakukan kebijakan perekonomian mandiri di luar Uni Eropa. Dia mengingatkan, Uni Eropa tengah dalam proses pemulihan yang menjanjikan, yang dimulai dari Spanyol dan Jerman.

Dia menilai Uni Eropa dan Inggris akan lebih mudah dalam menarik investasi dari apabila bersama-sama dalam satu blok. “Bersabarlah [Inggris] pemulihan Eropa sedang dalam perjalanan," tambahnya.

Sementara itu, pendekatan berbeda dilakukan oleh Menteri Ekonomi Prancis Emanuel Macron. Dia menyarankan agar Inggris tetap di blok tersebut. Menurut dia, Prancis telah menyiapkan segala macam strategi yang dipastikan akan merugikan Inggris bila Brexit terlaksana.

Dalam pidatonya pada Maret, Macron mengancam akan mengakhiri kendali di perbatasan dan membiarkan ribuan migran bergerak ke London.

Macron juga menegaskan Prancis akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan Paris sebagai ibukota perekonomian Eropa jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Dia memastikan pula, bank-bank yang berbasis di Inggris tidak akan memiliki keleluasaan dalam beroperasi di Uni Eropa.

“Ketika hubungan Inggris dan Uni Eropa diputus, saya pastikan para migran tidak akan lagi berada di Calais. Kami juga akan tarik bank-bank di London untuk masuk ke negara kami,” kata Macron.

Calais merupakan sebuah kota di Prancis yang menjadi tempat transit bagi imigran asal Timur Tengah yang ingin masuk ke Inggris. Selain itu, menurut Macron, peraturan yang mengizinkan bank-bank berbasis di Inggris untuk beroperasi di seluruh Uni Eropa akan tidak berlaku jika Inggris keluar dari blok.

Dia memastikan kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang cukup lama di Negeri Tiga Singa tersebut. Akibatnya, perekonomian Inggris cenderung bergejolak setelah Brexit terlaksana.

Referendum di Inggris, Dukungan Opsi Penolakan Brexit Menguat

Pasar Penting

Peringatan serupa juga telah disuarakan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Ketidakpastian yang muncul akibat masa peralihan besar seperti aksi Brexit, berpeluang mendatangkan krisis bagi Inggris.

Pasalnya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal OECD Stefan Kapferer, Uni Eropa merupakan pasar yang penting bagi Inggris. Berdasarkan penelitian OECD, negara-negara di kawasan ini  menyumbang 53% impor dan 48% ekspor Inggris.

"Keuntungan yang didapat Inggris dari Uni Eropa adalah adanya kebijakan perdagangan bebas barang dan jasa. Bisa dibayangkan jika terdapat batasan baru yang muncul akibat Brexit terwujud kata Kapferer.

Tak hanya itu, selain dari pejabat dan organisasi internasional, dukungan juga muncul dari kalangan pengusaha dan sektor swasta. Salah satu orang terkaya asal Hong Kong yang juga investor terbesar di Inggris yakni Li ka-Shing pun menyarankan agar Inggris tetap di blok tersebut.

Dia menilai, daya tarik Inggris paling besar saat ini ada pada keikutsertaannya dalam Uni eropa. Dia mengancam, akan mengaudit ulang atau bahkan membatalkan rencananya untuk membeli O2 apabila penduduk Inggris memilih keluar dari Uni Eropa.

“Saya tentu akan menghitung ulang skala keuntungan saya jika Brexit terlaksana. Saya tentu saja tak mau memecah saham saya di kedua wilayah [Inggris dan Eropa],” katanya.

Shing bergabung dengan sejumlah pejabat eksekutif dari Nissan Motor Co., Ford Motor Co., serta Daimler AG, yang sama-sama menolak opsi Brexit. Mereka kompak menyatakan Brexit akan akan membahayakan nilai tukar pound sterling dan euro.

Selain itu, aroma intervensi dari AS agar Inggris tetap di Uni Eropa makin menguat, setelah delapan mantan pejabat Kementerian Keuangan AS menandatangani surat terbuka penolakan Brexit pada Selasa (19/4) waktu setempat.

"Kebijakan Ini tidak akan menguntungkan bagi perekonomian Inggris, Eropa, dan juga bagi  AS. London juga akan terganggu sebagai pusat keuangan Eropa, kepercayaan investor yang menyebut Inggris sebagai pintu gerbang ke Eropa juga akan memudar," kata Lawrence Summers, salah satu penandatangan surat itu.

Surat terbuka ini dipublikasikan di surat kabar The Times. Selain Summers surat ini juga ditandatangani oleh Timothy Geithner, Henry Paulson, John Snow, Paul O`Neill, , Robert Rubin, Michael Blumenthal dan George Shultz.

Surat itu dipublikasikan sehari sebelum Obama tiba di Inggris untuk menjalani kunjungan selama empat hari.  Sejumlah kalangan meyakini Obama akan berupaya membujuk rakyat Inggris untuk bertahan di Uni Eropa dalam referendum 23 Juni.

Pasalnya, AS memperoleh keuntungan yang cukup besar dengan adanya Inggris di Uni Eropa. Negeri Paman Sam itu setidaknya memiliki salah satu koalisi yang kuat untuk mengendalikan Uni Eropa dari intervensi Rusia. (Bloomberg/Reuters)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Kamis (21/4/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper