Kabar24.com, JAKARTA - Ketersediaan air per kapita Indonesia secara nasional tergolong tinggi, namun ketersediaannya tidak merata. Pulau Jawa termasuk salah satu yang diproyeksikan mengalami krisis air karena hanya memiliki ketersediaan air permukaan 4%.
Profesor Riset Bidang Teknik Konservasi dan Tata Air Waluyo Hatmoko mengungkapkan jumlah ketersediaan air permukaan di Indonesia sebesar 3.960 miliar meter kubik per tahun dan hanya 4% nya dimiliki Jawa.
Dia mengatakan jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah penduduk Pulau Jawa yang mencapai sekitar 60% dari total penduduk Indonesia.
Waluyo menambahkan terdapat dua indeks yang digunakan untuk menentukan kelangkaan air yaitu Indeks Jumlah Air Per Kapita per tahun dan Indeks Penggunaan Air (IPA).
Berdasarkan data yang disampaikannya, Indonesia memiliki Indeks Air Per Kapita 15.631 meter kubik/orang/tahun, jumlah itu di atas China dan India.
Sementara itu, Indeks Air per-Kapita di Jawa, 1.168 meter kubik/orang, namun karena penggunaan airnya lebih dari 1.700 meter kubik/orang sehingga berpotensi mengalami kelangkaan.
“Kalau dilihat dari IPA, Indonesia masih berada pada kondisi tidak kritis kecuali Jawa yang masuk kategori kritis ringan,” katanya dalam pidato pengukuhannya sebagai profesor di Jakarta pada Kamis (21/4/2016).
Dia juga memaparkan jumlah kebutuhan air nasional sebesar 301 miliar kubik per tahun atau hanya 8% dari seluruh air yang tersedia. Dari jumlah itu, kebutuhan air irigasi mencapai 90% dari seluruh kebutuhan air nasional, sedangkan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan, dan industri hanya 4%.
Kelangkaan air, Lanjut Waluyo, terjadi karena ulah manusia yang memakai air terlalu berlebihan, tidak melestarikan hutan, dan tidak mengelola air dengan baik. Meskipun demikan, dia mengatakan kelangkaan air dapat diatasi dengan manajemen ketersediaan air dan kebutuhan air.
Waluyo menyampaikan manajemen ketersediaan air prinsipnya menambah jumlah air yang tersedia untuk mencapai pemenuhan kebutuhan air.
Dia mengatakan konsep pemanenan air atau konsep menyimpan air yang berlebih pada musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan air.
“Konsep permanenan air dapat diterapkan pada daerah banjir, sawah tadah hujan, tampungan makro-mikro dan atap permukiman,” ucapnya.
Lebih jauh Waluyo mengatakan rencana pembangunan 65 bendungan di Indonesia juga merupakan penerapan konsep pemanenan air.
Selain dari pembangunan tampungan air, dia menambahkan peningkatan debit aliran rendah pada musim kemarau dapat dicapai pula dengan pengaturan tata ruang agar memiliki rasio hutan yang cukup.
Berbagai studi yang dihimpunnya menunjukkan berkurangnya luas hutan mengakibatkan penurunan debit air hingga 45%. Apabila kondisi ketersediaan air suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak mencukupi, maka dapat dibantu oleh DAS terdekat yang masih memiliki air berlebih.
Dia mencontohkan model simulasi alokasi air telah mendukung perencanaan alih aliran antar DAS pada pemasokan air baku untuk Jakarta, dari DAS Cisadane di barat dan DAS Citarum dari Timur, hal yang sama juga berlaku untuk air baku di kota Bandung.
Sementara upaya mitigasi kekeringan dapat direncanakan jauh hari sebelum terjadi kekeringan yaitu dalam bentuk sistem peringatan dini bencana kekeringan. Hadirnya sistem deteksi dini kekeringan, diharapkan dapat diketahui kira-kira berapa bulan lagi akan terjadi kekeringan, sehingga petani juga dapat mengetahui tanaman apa yang tepat untuk ditanam.
Waluyo menyatakan riset meneganai deteksi kekeringan akan terus ditingkatkan sebab saat ini hanya ada sistem peringatan banjir seperti Katulampa siaga I maka dapat diketahui berapa jam lagi Jakarta akan banjir.