Kabar24.com, JAKARTA - Pernikahan selalu menjadi mimpi buruk bagi Tyas Mulyaningrum. Wanita yang tinggal di Purwodadi, Jawa Tengah ini pertama menikah pada 2008. Hanya setahun berselang, pasangan ini bercerai. Pada usianya yang ke-25, Tyas menyandang status janda muda tanpa anak.
Butuh waktu 7 tahun sebelum Tyas memantapkan hati untuk kembali mengarungi bahtera tumah tangga. Pria pilihannya adalah seorang tentara muda yang bertugas di Semarang. Akhir 2015 keduanya berencana menikah. Persiapan dilakukan sejak jauh-jauh hari. Aneka kebutuhan biaya mulai dihitung. Undangan di sebar. Keluarga besar Tyas dan calon suami menyambut gembira rencana tersebut.
Namun, mimpi buruk kembali menghampiri Tyas. Sekitar 1 bulan sebelum hari H, pernikahan tersebut terpaksa dibatalkan.
Sebagai calon istri seorang tentara, Tyas harus menjalani proses screening. Ini dilakukan dengan menyerahkan sejumlah dokumen pendukung kepada institusi tempat calon suaminya bernaung. Dalam proses itulah rencana pernikahannya membentur tembok tebal. Komandan si calon suami tidak mengizinkan anak buahnya menikahi Tyas.
“Katanya kakek saya pernah ikut jadi PKI [Partai Komunis Indonesia]. Calon suami saya disuruh mengundurkan diri dari ketentaraan kalau tetap mau nikah. Ternyata dia tidak mau memperjuangkan hubungan kami,” katanya.
Keluarga besar Tyas seperti disambar petir. Bukan hanya karena pernikahan yang batal. Ganjalan lainnya, tidak ada satupun dari keluarga besarnya yang tahu keterlibatan kakek dengan PKI. “Kakek saya sudah meninggal sejak 1996,” tambahnya.
Budi Pasminto, Ayah Tyas, menceritakan orang tuanya memang pernah ditangkap tentara tidak lama setelah peristiwa 1965. Namun, beberapa hari kemudian ayahnya tersebut dilepaskan. Setelah penangkapan tersebut, orang tua Budi tidak pernah menceritakan kegiatannya yang berkaitan dengan PKI. “Saya tidak pernah tahu kalau orang tua saya terlibat dengan PKI,” katanya.
Sekitar 50 tahun lalu, kakek Tyas lolos dari cap sebagai simpatisan komunis. Kini Tyas gagal menikah karena dianggap keturunan antek komunis.
Upaya Rekonsiliasi
Ingatan soal tragedi 1965 selalu menjadi kenangan buruk bagi bangsa ini. Sejumlah lembaga mengeluarkan data korban yang berbeda-beda. Beberapa pihak percaya sekitar 3 juta orang yang dianggap simpatisan PKI di bantai pada masa itu. Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara menjadi kantung-kantung darah. Komnas HAM menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat karena dilakukan secara luas dan sistematis.
Haris Azhar, Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), mengatakan tragedi 1965 adalah peristiwa yang memutarbalikkan bangunan sosial politik di Indonesia. Dampaknya tidak hanya di rasakan tahun-tahun setelah peristiwa tersebut, tetapi memanjang hingga beberapa dekade setelahnya.
Haris menambahkan sejak era reformasi sebenarnya sudah terlihat kemajuan terkait kasus ini. Tahanan politik misalnya, sudah banyak yang dibebaskan. Simpatisan PKI dan keturunnanya juga sudah diberikan hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Selain itu, pengadilan juga memutuskan untuk menjamin tidak ada diskriminasi terhadap para korban tersebut. Namun, tidak sedikit juga peraturan yang masih mengekakng mereka.
“Mereka sudah dibebaskan tetapi belum mendapatkan kebebasan,” katanya.
Peneliti Human Right Watch untuk Indonesia Andreas Harsono membeberkan salah satu peraturan diskriminatif yang masih berlaku adalah Permendagri No.32 Tahun 1981 tentang larangan menjadi PNS bagi mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa 1 Oktober 1965. “Aturan yang mengharuskan calon pegawai ‘bersih lingkungan’ ini sangat diskriminatif,” katanya. “Diperkirakan ada sekitar 40 juta orang korban terdampak dari tragedi 1965 yang harus direhabilitasi hak-haknya,”.
Simposium 1965
Setahun belakangan, peristiwa 1965 sempat menjadi isu hangat. Berkali-kali Presiden Joko Widodo digosipkan ingin meminta maaf kepada para korban. Kontroversi segera meruak meskipun sampai kini gossip tersebut tidak pernah menjadi kenyataan.
Dari Istana Kepresidenan, kabar mengejutkan kembali muncul. Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) menggandeng Komnas HAM dan Dewan Pers akan membuat simposium soal tragedi 1965. Suryo Susilo, Ketua Panitia Pelaksana, menjelaskan inisiasi acara ini muncul dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
“Menkopolhukam Luhut Panjaitan akan membuka acara ini,” paparnya.
Menurut Suryo acara ini sangat strategis karena akan menghadirkan semua pemangku kepentingan terkait peristiwa 1965. Sekitar 10 instansi terlibat dalam acara ini. Simposium dijadwalkan pada 18-19 April 2016 dengan pemaparan sejumlah tokoh penting. Nama-nama populer seperti sejarahwan Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam akan menjadi panelis.
Dari barak tentara, sejumlah nama juga akan dihadirkan. Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo adalah salah satunya. Tidak ketinggalan pula tokoh agama seperti Syafii Ma’arif dan Ketua PB Nahdhatul Ulama KH Marsudi Suhud juga akan menjadi pembicara.
Sidarto Danusubroto, anggota Watimpres yang menjadi penggagas acara ini, memang tidak bisa menjanjikan apapun. Saat ditanya bagaimana keputusan pemerintah soal nasib korban 1965, dia tidak bisa menjawab pasti. Sidarto hanya berharap simposium ini mampu menjembatani sejumlah pihak yang bertikai.
“Generasi kita memiliki utang sejarah yang belum dibayar. Jangan sampai kita mewariskannya,” katanya.
Di Purwodadi, utang sejarah tersebut yang dirasakan oleh Tyas. Wanita 33 tahun ini beruntung karena saat ini telah bertemu dengan jodohnya. Beberapa bulan lalu ia bertemu dengan seorang pria dan memutuskan segera menikah. Kini, ia sedang hamil 3 bulan.
Tyas adalah generasi yang diwariskan utang sejarah. Orang yang mengemban ‘kesalahan’ kakeknya hampir lima dekade lalu.