Kabar24.com, JAKARTA - Kasus korupsi di Indonesia menunjukkan salah satu wujudnya ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terkait pembahasan Raperda reklamasi Teluk Jakarta.
Terkait kasus reklamasi ini, selain menjadikan Dirut APLN sebagai tersangka, KPK pun mencegah petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto bepergian ke luar negeri.
Jika selama ini dunia mengenal praktik "pembelian" undang-undang atau aturan turunannya, termasuk di negara berkembang, untuk memuluskan kegiatan bisnis perusahaan besar, kasus OTT reklamasi Teluk Jakarta menunjukkan hal serupa bisa terjadi di Indonesia, oleh orang Indonesia sendiri.
Ternyata, paling tidak begitu mungkin publik berkata, di Indonesia pun praktik membeli aturan hingga ke tingkat parlemen sudah terjadi.
Ihwal pencekalan Aguan, KPK sudah mengkonfirmasinya pada Minggu (3/4/2016).
"Benar, KPK telah mengirimkan surat cegah ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham atas nama Sugianto Kusuma sejak 1 April 2016 untuk enam bulan ke depan," kata Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati.
Penetapan Dirut APLN saja sudah menjadi kejutan tersendiri, apalagi kini dengan pencekalan terhadap Aguan. Pencekalan terhadap nama besar di dunia properti ini tentu kian membuat orang terbelalak.
Untuk diketahui, PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu diketahui merupakan salah satu dari dua pengembang yang sudah mendapat izin pelaksanaan Reklamasi Teluk Jakarta. Perusahaan lain adalah PT Muara Wisesa Samudera yaitu anak perusahaan Agung Podomoro.
KPK sudah menetapkan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Arieswan Widjaja sebagai tersangka pemberi suap sebesar Rp2 miliar kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi terkait pembahasan Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinnsi DKI Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Kamis (31/3/2016), KPK menemukan barang bukti uang senilai Rp1,14 miliar dari total Rp2 miliar yang sudah diberikan Ariesman meski belum diketahui total commitment fee yang diterima Sanusi.
Suap kepada Sanusi diberikan melalui Personal Assistant PT Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro.
Sejauh ini, praktik jual-beli atau ijon undang-undang atau aturan di bawahnya baru terungkap di parlemen daerah. Tapi siapa bisa melarang kalau kecurigaan publik juga mengarah kepada parlemen tingkat pusat.
Walaupun jawaban atas kecurigaan semacam itu tentu saja masih harus menunggu kerja KPK selanjutnya.
Apa pun, publik kian mengetahui bahwa gerakan pelaku korupsi di Indonesia sudah sedemikian masifnya.
Walhasil, setelah lolos dari jebakan "amputasi" melalui revisi undang-undang, KPK harus bekerja semakin berani dan tak takut memberantas korupsi.
Bahkan, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH A Hasyim Muzadi mengajak seluruh elemen bangsa untuk memberi kekuatan moral terhadap KPK sebagai institusi independen agar lembaga antirasuah itu bisa berbuat jernih, tegas, dan tidak tebang pilih.
Menurut Abah, demikian konon Hasyim Muzadi disapa lingkungan dekatnya, spektrum upaya para koruptor semakin meluas, bahkan menggunakan sebagian rakyat untuk menekan Kejaksaan seperti yang terjadi di Surabaya, padahal rakyat pada umumnya mendukung kiprah Kejaksaan.
Selanjutnya, terhadap KPK pun ada yang menggunakan kelompok umat bahkan sejumlah kiai untuk membuat "tekanan" guna melindungi koruptor melawan KPK.
Lebih dari itu, ada juga ormas Islam tertentu yang digunakan untuk menakut-nakuti penegak hukum seakan umat akan bergerak membela koruptor, padahal justru ormas Islam harus dibersihkan dari tindak pidana korupsi.
"Cara-cara seperti ini juga dilakukan terhadap Polri pada setiap eselon," kata KH Hasyim yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Kini, nama besar sedang dihadapi KPK. Mari kita tunggu apa yang akan terjadi ke depan.