Kabar24.com, JAKARTA -- Polri memastikan penanganan perkara tindak pidana terorisme sesuai dengan hak asasi manusia terkait adanya penambahan masa pemeriksaan terduga teroris dalam Revisi Undang-undang Terorisme.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Pol. Agus Rianto mengatakan penanganan kasus terorisme sangat berbeda dengan pidana lainnya karena melibatkan jaringan dan lokasi yang sukar dijangkau.
Karena itu perlu adanya penambahan masa pemeriksaan terhadap terduga teroris agar penyidik memiliki waktu penyelidikan yang cukup.
"Terkait kekhawatiran akan terjadi pelanggaran HAM, kami punya standar prosedur kerja dalam melaksanakan tugas. Jika ada yang melanggar pasti akan diproses, bila terbukti bakal dikenakan sanksi," katanya kepada Bisnis, Kamis (3/3/2016).
Masyarakat pun, menurut Agus, bisa ikut mengawasi kinerja Polri dalam menangani kasus terorisme. Dia meminta masyarakat agar melapor ke internal Polri bila ditemukan pelanggaran dalam menangani perakra tersebut.
"Jika ditemukan dugaan pelanggara maka bisa dilaporkan ke internal kami untuk ditelusuri lebih lanjut," katanya.
Bonar Tigor Naispospos, Wakil Ketua Badan Pengurus Setara Institute dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (3/3) menilai perubahan limitasi waktu penahanan dari 7 x 24 jam menjadi 30 hari bagi terduga teroris terlalu lama.
Panjangnya masa pemeriksaan terduga teroris yang belum jelas status hukumnya merupakan bentuk kesewenang-wenangan.
Menurut dia dalam International Covenant on Civil and Political Rights, penahanan hanya dibenarkan terhadap seseorang dengan status hukum jelas dengan durasi waktu yang rasional serta sesegera mungkin dibawa ke pengadilan.
Dengan demikian, konstruksi Pasal 28 Revisi UU Terorisme adalah norma yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
"Penangkapan untuk kepentingan pemeriksaan terduga seharusnya tetap mengacu kepada KUHAP Pasal 21 Ayat (1) dan (2) yakni 1x24 jam atau penetapan tersangka yang disertai dengan penahanan yang didasarkan pada dua alat bukti yang sah," katanya.