Bisnis.com, JAKARTA - Proses mediasi antara Direktorat Jenderal Pajak dengan sejumlah bekas pimpinan PT Metro Batavia atau Batavia Air yang telah pailit gagal mencapai titik temu.
Kuasa hukum para penggugat Raden Catur Wibowo mengatakan sebanyak tiga dari empat perkara yang ditanganinya gagal berdamai di mediasi. “Ada satu perkara lagi, ini juga kayaknya bakal gagal,” katanya, Kamis (11/2/2016).
Adalah Komisaris Utama Batavia Air Liaw Tjhai Djun, eks direktur utama Yudiawan Tansari, eks direktur keuangan Irene Yudiawan, dan eks Direktur Pengelola Perusahaan Batavia Air Alice Tansari yang melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keempatnya melayangkan empat gugatan yang berbeda terhadap Kantor Pajak dan sejumlah bank yang memblokir rekening mereka.
Liaw Tjhai Djun melayangkan gugatan kepada Kantor Pajak dan PT Bank Panin Tbk. (Bank Panin). Yudiawan Tansari menggugat Kantor Pajak dan PT Bank Central Asia Tbk. (Bank BCA). Alice Tansari mengajukan gugatan kepada Kantor Pajak, Bank BCA, dan Bank Panin sedangkan Irene Yudiawan menggugat Kantor Pajak dan Bank ANZ Indonesia.
Catur mengatakan satu perkara lagi yang masih menunggu proses mediasi adalah perkara antara Yudiawan Tansari melawan Kantor Pajak dan Bank BCA.
Dia enggan menyebutkan detail pembicaraan dalam proses mediasi. “Yang jelas mereka menolak apa yang kami minta dalam gugatan,” katanya. Dengan gagalnya mediasi ini, maka proses persidangan perkara-perkara tersebut akan dilanjutkan.
Sengketa ini bermula ketika bank-bank tersebut melakukan pemblokiran tabungan. Catur mengemukakan sebelum pemblokiran itu dilakukan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Madya Jakarta Pusat mengirim surat paksa kepada Yudiawan Tansari.
“Pada 26 Mei 2015 tergugat menyampaikan surat paksa kepada Yudiawan Tansari atas tagihan pajak Metro Batavia senilai Rp323 miliar yang sebelumnya telah tidak diakui oleh tim kurator,” kata Catur.
Lalu, sejumlah bank tempat para penggugat menyimpan uangnya, menerangkan bahwa atas permintaan dari Kantor Pajak, telah dilakukan pemblokiran harta kekayaan penggugat yang tersimpan pada bank.
Menurut Catur, apa yang dilakukan para tergugat bertentangan dengan aturan hukum. Dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-undang No. 37/2004 disebutkan bahwa tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kepada kurator.
Sementara dalam Undang-undang No. 16/2009, disebutkan bahwa dalam hal menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak yang telah pailit diwakili oleh kurator.
Pada 30 Januari 2013, Batavia telah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Tergugat I yang merupakan kreditur preferen telah mengajukan tagihan utang kepada kurator Batavia saat rapat pencocokan utang.
Kurator hanya mengakui Rp46,2 miliar sebagai tagihan pajak. Sedangkan tagihan tertanggal 26 Maret 2013 senilai Rp323 miliar tidak diakui oleh kurator. Pasalnya, tagihan itu didaftarkan setelah batas pendaftaran tagihan yang telah ditentukan kurator dan hakim pengawas, yakni 1 Maret 2013.
Keberatan dengan penolakan kurator itu, pada 27 Maret 2013, tergugat I telah melayangkan renvoi prosedur. Namun, majelis hakim menolak renvoi prosedur tersebut. Tergugat I kemudian mengajukan upaya hukum kasasi dan ditolak oleh hakim agung. Langkah peninjauan kembali (PK) pun telah diambil oleh tergugat I, tetapi tetap kandas.