Kabar24.com, JAKARTA -- Aliansi empat organisasi lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) mencatat sedikitnya tiga kasus dugaan kekerasan dan intimidasi terjadi pada warga yang menolak aktivitas pertambangan oleh perusahaan.
Aliansi itu terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Justice, Peace, Integration of Creation (JPIC), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Greenpeace Indonesia. Kasus itu terjadi di Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Timur.
Pada Senin, segerombol orang dengan senjata tajam dan senjata api menggeruduk kantor Jatam di Kalimantan Timur. Penggerudukan itu diduga terkait dengan penutupan operasi perusahaan batu bara oleh Gubernur Kalimantan Timur pada Desember lalu.
"Pembekuan 11 izin tambang batubara tersebut adalah buntut dari kasus meninggalnya 19 bocah di lubang bekas tambang batubara di Kalimantan Timur," demikian pernyataan bersama organisasi tersebut, Kamis (28/1/2016).
Dua kasus lainnya terjadi di Desa Supul, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT serta Lombok Timur di NTB. Di antaranya adalah masyarakat adat yang melakukan ritual adat untuk menentang pertambangan mangaan di atas lahan mereka. Namun, aksi itu malah mendapat intimidasi yang diduga dilakukan oleh aparat TNI.
Sedangkan kasus lainnya di NTB adalah penolakan warga terhadap rencana pertambangan pasir laut untuk kegiatan reklamasi Teluk Benoa, di Bali. "Aksi warga yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Lombok Timur mendapatkan tindakan represif dari aparat Kepolisian yang melakukan provokasi dengan melakukan pelemparan batu dan menembakkan gas air mata," demikian organisasi tersebut.
Oleh karena itu, mereka mendesak agar pemerintah dapat memberikan jaminan kepada masyarakat yang memperjuangkan keselamatan lingkungan. Selain itu, juga dapat membuat regulasi yang tegas untuk mencegah penggunaan aparat negara untuk kepentingan bisnis.