Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MENDIKBUD: Wajib Belajar 12 Tahun Perlu Payung Hukum

Wajib belajar 12 tahun menjadi salah satu nawacita dalam program kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka meningkatkan kualitas manusia di Indonesia. Walaupun program ini belum memiliki payung hukum secara nasional, pemerintah sudah mulai menjalankan program ini dengan visi, kebijakan, dan target-target pencapaian yang jelas.
Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo (kiri) dan Dirut Bank bjb Ahmad Irfan (ketiga kiri) mendampingi Mendikbud Anies Baswedan (kedua kiri) ketika menyerahkan tali kasih kepada perwakilan guru dan tenaga kependidikan pada acara puncak Peringatan Hari Guru Nasional ke-21 Tahun 2015 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (24/11)./Antara
Direktur BNI Anggoro Eko Cahyo (kiri) dan Dirut Bank bjb Ahmad Irfan (ketiga kiri) mendampingi Mendikbud Anies Baswedan (kedua kiri) ketika menyerahkan tali kasih kepada perwakilan guru dan tenaga kependidikan pada acara puncak Peringatan Hari Guru Nasional ke-21 Tahun 2015 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (24/11)./Antara
Bisnis.com, JAKARTA--Wajib belajar 12 tahun menjadi salah satu nawacita dalam program kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rangka meningkatkan kualitas manusia di Indonesia. Walaupun program ini belum memiliki payung hukum secara nasional, pemerintah sudah mulai menjalankan program ini dengan visi, kebijakan, dan target-target pencapaian yang jelas.
 
"Pemerintah harus menambah kemampuan untuk menampung, tempatnya ada atau tidak, gurunya cukup atau tidak, dan lain sebagainya. Ini akan kita lihat, jadi ketika dicanangkan wajib belajar 12 tahun suplainya sudah siap," kata Mendikbud Anis Baswedan di Kemendikbus, Kamis (17/12/2015).
 
Meski demikian, berdasarkan riset wajib belajar 12 tahun oleh New Indonesia, program wajib belajar justru menjadi beban pemerintah daerah (Pemda) miskin. Di Kabupaten Karangasem, Bali misalnya, Pemda setempat enggan melaksanakan program wajib belajar 12 tahun karena tidak tersedianya biaya finansial dan beban anggaran.
 
"Mereka beralasan untuk tidak mematuhi kebijakan provinsi karena tanpa dukungan dana bantuan pemerintah provinsi dan pusat tidak ada yang cukup untuk pendidikan menengah gratis," papar Direktur LP3ES, AE Priono.
 
Priono menjelaskan, situasi lebih parah terjadi di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Sebab, di kalangan masyarakat umum muncul banyak keluhan sulitnya menyekolahkan anak sampai sekolah menengah atas (SMA). Pemda setempat dinilai tak responsif menanggulangi keterbelakangan pendidikan di tengah kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah.
 
"Terhadap beberapa riset tersebut, parameter aksesbilitas lebih penting ketimbang penampungan. Sehingga pemerataan pendidikan tidak cukup secara spasial, tetapi juga secara sosial demografis," ucapnya.
 
Priono menambahkan, sekolah unggulan merupakan bentuk dari perilaku diskriminatif. Pasalnya, sekolah unggulan punya kecenderungan mencampakan dan membuang anak-anak bodoh dan tidak berprestasi.
 
"Pendidikan kejuruan atau SMK juga harus diberi arah dengan diintegrasikan dengan strategi perencanaan daerah. SMK harus mencetak tenaga-tenaga terampil yang sesuai dengan potensi ekonomi setempat yang diprioritaskan untuk dikembangkan," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper