Kabar24.com, JAKARTA -- Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengatakan, penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi masih belum ada sinkronisasi dan koordinasi antar perguruan tinggi di Indonesia.
Nasir mengatakan, ketidak kompakan penelitian antar perguruan tinggi dapat menyebabkan tumpang tindih hasil penelitian.
"Kalau universitas A melakukan riset tentang ini ternyata yang lain juga sudah melakukan sejak lama kan jadi tumpang tindih. Akibatnya hasil penelitian ini tidak dapat dirasakan oelh masyarakat," ungkapnya dalam konferensi pers di Gedung Kemenristekdikti, Jakarta, Kamis (5/11/2015).
Salah satu sinergi penelitian perguruan tinggi yang dirasakan tidak kompak adalah dalam menangani bencana asap yang sedang terjadi saat ini.
"Masing-masing perguruan tinggi berkiprah sendiri-sendiri saat bencana. Akibatnya tidak efektif," tuturnya.
Selama ini, kontribusi perguruan tinggi dalam menangani bencana asap diberikan sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang ahli menangani masalah hutan, lahan gambut atau aspek kesehatan, namun kurang bekerja sama.
Padahal, jika bekerjasama, maka solusi yang dipakai akan lebih efektif. Misalnya, kata Nasir, semua pakar gambut dari berbagai kampus dikumpulkan untuk bisa menyelesaikan masalah asap.
"Kita buat tim ahli hukum juga. Ditentukan, apa hukuman bagi pembakar hutan," ujarnya.
Sebelumnya, Nasir menyampaikan berbagai kontribusi perguruan tinggi Indonesia dalam menangani kabut asap yang berkelanjutan. Seperti yang diciptakan oleh ITB dengan alat fresh-on 2015 yang mampu menyaring partikel sangat kecil hingga berdiameter 50 nan meter yang melayang di udara bersama asap pekat beracun.
Selain ITB, Universitas Indonesia dengan Tim Ahli Pusat Riset dan Respon Bencana membuat alat penghisap asap absorber. Sedangkan Universitas Diponegoro juga membuat alat pembersih udara dengan sistem nano, yaitu Zeta Green.