Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah tetap mempertahankan kebijakan evaluasi kebutuhan hidup layak dengan periode lima tahun sekali, meski mendapat protes dari sejumlah kelompok buruh.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan survei harga KHL di pasar tidak banyak berubah jika dilakukan dengan periode berdekatan. "Lima tahun lagi [revisi KHL]. Survei lebih besar karena kita anggap itu kan tidak banyak berubahnya,"ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Jumat(30/10/2015).
Menurut dia, perubahan riil sebenarnya terjadi pada tingkat inflasi. Sementara, produktivitas buruh diapresiasi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah memilih indikator inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai patokan kenaikan upah. Perhitungan kenaikan upah buruh melalui skema persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi dipilih untuk memberi kepastian pada buruh sekaligus pengusaha.
Dia juga mengingatkan bahwa pemerintah tak hanya ingin mensejahterakan buruh yang bekerja, tetapi juga memberi lapangan kerja bagi calon buruh yang belum bekerja. "Kalau kita ribu melulu nanti lapangan kerja baru tidak ada yang masuk,"imbuhnya.
Sejumlah kelompok pekerja melakukan aksi demonstrasi menolak implementasi PP No. 78/2015 tentang Pengupahan Pekerja. Mereka menilai skema upah baru akan menurunkan kesejahteraan mereka. Kalangan pekerja menolak skema kenaikan upah minimum yang baru karena dianggap melanggar UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam UU tersebut, penetapan upah minimum dilakukan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan dan berdasarkan survei harga KHL di pasar, bukan ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui skema yang termuat dalam PP No. 78/2015. Kelompok buruh menuntut penambahan item KHL dilakukan setiap tahun, bukan lima tahun sekali karena dianggap terlalu lama.