Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dampak Sistemis Karhutla, Ini Tawaran Solusi dari CIFOR

Kabut asap dari Indonesia telah melintasi batas antar-negara dan menjadi semakin tak terkendali. Ironis, mengingat keadaan darurat ini disebabkan oleh pembakaran lahan dan hutan yang disengaja dan dibiarkan.
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kedua kiri) meninjau lokasi kebakaran lahan di Desa Pulo Keronggan, Kec Pedamaran Timur, Ogan Komering Ilir, Sumsel, Minggu (6/9). Presiden meminta Kapolri untuk menindak tegas pelaku dan perusahaan yang membakar lahan dengan sengaja./Antara
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kedua kiri) meninjau lokasi kebakaran lahan di Desa Pulo Keronggan, Kec Pedamaran Timur, Ogan Komering Ilir, Sumsel, Minggu (6/9). Presiden meminta Kapolri untuk menindak tegas pelaku dan perusahaan yang membakar lahan dengan sengaja./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Kabut asap dari Indonesia telah melintasi batas antar-negara dan menjadi semakin tak terkendali. Ironis, mengingat keadaan darurat ini disebabkan oleh pembakaran lahan dan hutan yang disengaja dan dibiarkan.

Pemerintah dinilai lalai mengantisipasi hingga bencana menjadi siklus tahunan. Bencana nasional ini pun berdampak global baik secara sosial, ekologi, dan ekonomi.

Data Center for International Forestry Research (CIFOR) mengungkapkan nilai kerugian akibat pembakaran hutan dan El-Nino selama Februari dan Maret 2015 di Riau saja mencapai Rp28 triliun.

Kabut asap juga diprediksi merugikan perekonomian Asean sebesar US$10 miliar. Emisi hasil pembakaran hutan tahun ini mencapai 1,5-2 GT GRK atau setara dengan 10% total emisi Indonesia.

Pertumbuhan pesat produksi kelapa sawit yang mengantar Indonesia menjadi negara pemasok kelapa sawit terbesar di dunia menjadi buah simalakama.

Indonesia memasok 52% atau mengekspor 33 juta ton kelapa sawit dunia pada 2014 dengan dominasi investasi dari Malaysia and Singapura yang berkontribusi US$18,4 miliar bagi perekonomian negara.

Namun di sisi lain, permintaan ambisius dunia akan kelapa sawit mendorong ekspansi brutal perkebunan kelapa sawit yang akhirnya menjadi salah satu faktor utama penyebab kebakaran tahun ini.

“Produksi kelapa sawit bermanfaat nyata secara ekonomi, tetapi ongkos sosial, kesehatan dan ekologisnya juga sangat serius,” ucap Herry Purnomo, peneliti dari CIFOR dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis (8/10/2015).

Menurutnya, konversi hutan gambut menjadi area perkebunan monokultur yang merusak ekosistem dan tata air lahan gambut menjadi agenda terencana.

Masyarakat sipil mengapresiasi inisatif yang diambil pemerintah guna menahan laju deforestasi serta kebakaran lahan dan hutan.

Salah satunya adalah Inpres tentang moratorium pemberian izin baru dan perbaikan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. "Meski demikian, kami prihatin bahwa tidak ada peningkatan dari segi isi dan target," katanya.

Indonesia Budget Center menganalisis dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah hanya menargetkan untuk menurunkan 10% jumlah hotspot dari rata-rata 17.820 hotspot pada 2014 menjadi 16.038 hotspot pada 2018 dan hanya menurunkan 10% luas area kebakaran hutan (l.k.386,1 Ha) dari 3.861,3 hektar pada 2014 menjadi seluas 3.475,2 hektar pada 2018.

"Sangat disayangkan, pada RAPBN 2016 indeks alokasi anggaran untuk sektor hutan sama sekali belum berubah bahkan turun menjadi Rp48.685/ha/tahun dibanding indeks tahun sebelumnya,” ungkap Roy Salam, aktivis dari Indonesia Budget Center.

Faktor lain yang menjadi penyebab kebakaran hutan berulang adalah penegakan hukum yang lemah. Meski banyak pelaku pembakaran hutan dan perusakan lahan gambut berhasil diidentifikasi, penegakan hukum masih lemah.

"Banyak konflik politik dan kepentingan karena aktor-aktor kunci banyak terkait dengan mereka yang memegang kekuasaan,” kata Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan.

Hingga saat ini, lanjutnya, baru satu kasus hukum Rawa Tripa di Aceh yang berhasil ditegakkan. “Kasus ini harus dijadikan preseden bagi kasus-kasus pembakaran lain yang telah dan saat ini terjadi. Pemerintah harus berani menindak tegas pelaku pembakaran, baik dalam skala kecil maupun besar.”

CIFOR, berdasarkan pengalaman hasil-hasil risetnya merekomendasikan penanganan kebakaran lahan dan hutan sebagai berikut

Sebagai solusi jangka pendek, anggaran dan penegakkan hukum harus menjadi prioritas. Pertama, DPR harus meningkatkan alokasi anggaran negara untuk kegiatan pencegahan kebakaran.

Kedua, pemerintah harus segera me-review perizinan di lahan gambut secara menyeluruh, termasuk monitoring pola pengelolaan dan menunda serta mencabut konsesi hutan dan kebun di lahan gambut.

Solusi jangka menengah, pemerintah harus secara konsisten mengharmonisasi rencana tata ruang  pusat dan daerah dan memastikan peraturan terkait lahan gambut jelas dan tidak tumpang tindih.

Pemerintah juga perlu membangun komunikasi dan kerja sama dengan negara anggota Asean untuk mengurangi kebakaran dan asap.

“Untuk solusi jangka panjang, pemerintah harus secara perlahan tapi pasti menegakkan hukum yang berlaku dan memperkuat kapasitas penegakan hukum,” tegas Herry Purnomo.

Hal yang tak kalah penting lainnya adalah menata ulang pengelolaan ekosistem gambut dan mengintegrasikan pemetaan lahan gambut dalam One Map. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper