Kabar24.com, JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) didesak untuk mengusut perusahaan yang melakukan ekspor pasir besi dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur terkait dengan kasus kematian petani Salim Kancil, yang diduga melibatkan emiten di Hong Kong.
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pihaknya tengah mendalami dugaan keterlibatan korporasi yang berbasis di Hong Kong terkait dengan konflik pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang.
Anggota Komnas HAM Dianto Bachriadi menyatakan salah satu rekomendasi lembaga itu kepada kepolisian adalah desakan untuk menelusuri keterlibatan korporasi.
“Rekomendasi Komnas HAM kepada polisi memang mendesak kepolisian untuk menyelidik kasus ini lebih komprehensif, termasuk keterlibatan korporasi,” kata Dianto kepada Bisnis.com di Jakarta.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari enam organisasi lingkungan dan pemantau hak asasi manusia (HAM) juga menyatakan kepolisian belum sama sekali menyentuh aktor korporasi. Mereka menuturkan kasus konflik tambang pasir besi di Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, harus dilihat sebagai kasus yang terstruktur.
"Aktor pemicu dan pengambil keuntungan besar atas penambangan pasir besi di Lumajang belum disentuh," kata Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi, di Jakarta.
Dia menuturkan penolakan warga telah dilakukan pada 2010, yakni ketika surveyor dari PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) berada di lokasi warga. Penolakan itu muncul karena kekhawatiran masyarakat terhadap tambang pasir besi yang akan merusak lingkungan dan sumber pencarian para petani.
PT IMMS sendiri memberikan hak eksklusif dan kewenangannya kepada PT Dampar Golden International (DGI), yang tak terbatas pada penjualan dan pemasaran pasir besi, terkait dengan aktivitas penambangan tersebut. PT DGI merupakan anak usaha Asia Resources Holdings Limited, emiten yang berbasis di Hong Kong.
Dalam situs resminya, PT DGI menyatakan pihaknya menyediakan konsentrat besi berkualitas tinggi dengan biaya produksi rendah, untuk para perusahaan pembuat baja di China dan negara lainnya di Asia. Perusahaan itu merupakan anak usaha dari Asia Resources Holdings Limited, yang tercatat pada Hong Kong Stock Exchange. Selain pasir besi, bisnis perseroan juga berada di sektor properti, sekuritas dan perdagangan emas.
PT DGI menargetkan untuk menghasilkan 800 ton pasir besi mentah per hari. Secara bertahap, perusahaan juga akan memproduksi 10.200 ton pasir besi dan 6.000 ton konsentrat besi per hari setelah kilang pengolahan beroperasi. PT DGI memiliki kantor di Surabaya, tepatnya di Plaza BRI, jalan Jendral Basuki Rachmad, Genteng.
Muhnur menuturkan kepolisian harus memeriksa dugaan keterlibatan PT IMMS hingga PT DGI, yang dimiliki oleh Asia Resources Limited. “Konflik tambang pasir besi tidak hanya melibatkan birokrasi daerah tapi juga melibatkan korporasi internasional,” paparnya. “Ini menjadi pintu masuk untuk melakukan investigasi terhadap pemodal besar.”
Ketika dikonfirmasi melalui telepon dan layanan pesan pendek ke telepon selular, Manajer Kantor PT DGI di Surabaya, Mamik Hartini tak meresponnya.
DUGAAN KORUPSI
Ananto dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan kepolisian seringkali gamang dalam merespon pelbagai masalah konflik sumber daya alam. Kontras mencatat sedikitnya terdapat 13 hak yang dilanggar dalam kasus pertambangan pasir besi di Kabupaten Lumajang.
Dia menuturkan di antaranya adalah kerusakan lingkungan, perubahan lingkungan menjadi gersang, rusaknya sistem irigasi yang menyebabkan kekeringan lahan pertanian warga serta penyiksaan terhadap warga itu sendiri. Dia memaparkan persoalan yang dialami warga Desa Selok Awar-Awar juga diperparah dengan pemerintahan yang buruk dan diduga terlibat korupsi.
"Polisi juga menyebabkan terjadinya pembiaran, hingga berujung pada pelanggaran HAM. Hal yang juga menyebabkan polisi kerap terkesan tidak netral bahkan cenderung berpihak kepada pemilik modal," kata Ananto.
Pada Mei lalu, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan Direktur Utama PT IMMS Lam Cong San dan Sekretaris Komisi Penilai Amdal Kabupaten Lumajang Abdul Ghafur sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Keduanya diduga terlibat dalam korupsi perizinan tambang besi.
Melalui keterangan resminya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur memaparkan kasus itu bermula karena PT IMMS melakukan penambangan di lahan milik Perhutani.
"PT IMMS pernah mengajukan ijin namun permohonan ditolak. PT IMMS tetap melakukan penambangan di areal Perhutani, setelah sekian tahun berjalan penambangan pasir besi itu mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah," demikian Kejaksaan Tinggi.