Kabar24.com, JAKARTA - Plt. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji memaparkan beberapa pasal dalam draf RUU KPK yang dianggap mengamputasi kewenangan KPK.
"Memang RUU yang berubah ini pasal-pasalnya untuk mengamputasi kewenangan KPK," ujar Indriyanto di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Dalam pasal 14 RUU KPK, kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan harus mendapat izin dari pengadilan. Penyadapan, menurut Indriyanto, merupakan kewenangan khusus yang dimiliki KPK sebagai sebuah lembaga khusus yang legal dan diatur dalam undang-undang.
"Kalau dalam revisi UU versi DPR jelas-jelas bertentangan sekali dengan lembaga kekhususan KPK, artinya menghilangkan kewenangan untuk melakukan apa yang dinamakan penyadapan," kata Indriyanto.
Selanjutnya, Pasal 42 pada draf disebutkan KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi yang ditanganinya. Adapun dalam undang-undang yang berlaku saat ini, penghentian penyidikan dapat dilakukan apabila terdakwa atau tersangka meninggal dunia serta tersangka dianggap tidak layak disidangkan.
Selain itu, pakar hukum pidana ini juga menyebut pasal 45 dalam RUU KPK bahwa penyelidik yang diangkat dan diberhentikan harus berdasar usulan Polri dan Kejaksaan.
Pasal 49 yang mengatur bahwa penyitaan harus dilakukan dengan seizin pengadilan juga dianggap melumpuhkan KPK.
"Pasal-pasal ini yang mengamputasi kewenangan KPK. Bukan gigi hilang, tapi ompong melompong," ujar Indriyanto.
Dia menggarisbawahi pasal 52 yang dianggap menghilangkan fungsi koordinasi supervisi pada Kejaksaan dan Polri. Hal tersebut dikarenakan pada pasal 52 disebutkan jika KPK melakukan penyidikan terlebih dahulu dari Kejaksaan dan Polri maka KPK wajib melaporkan pada dua instansi tersebut.
Dalam pasal 53 dalam draf, KPK hanya diberi kewenangan sampai pada tahap penyidikan. Sementara penuntutan diserahkan pada Kejaksaan.
"Jadi dibuat separation of power, kalau dengan one roof system untuk lembaga trigger harus tetap teringetrasi. Ini baru pertama dilakukan di Indonesia melalui beberapa anggota DPR," kata dia.
Indriyanto juga mengkritisi Pasal 5 dan Pasal 73, yang menyatakan umur KPK hanya 12 tahun setelah UU itu disahkan.
Menurutnya, lembaga ad hoc dibentuk bukan berdasarkan durasi, melainkan kondisi di mana lembaga tersebut masih dibutuhkan. Jika Indonesia sudah bersih dari korupsi, maka KPK sudah tidak dibutuhkan lagi.
"Kalau pasal-pasal ini tetap ada, lebih baik KPK dibubarkan saja. Jangan sekali-sekali lembaga trigger ini diamputasi kita akan menempuh langkah-langkah yang secara hukum dibenarkan," tegasnya.