Kabar24.com, JAKARTA -- Program pembangunan sekolah besar-besaran dan perekrutan guru yang terus dilakukan turut meningkatkan partisipasi pendidikan meningkat dari tahun ke tahun. Namun, upaya untuk mengatasi kesenjangan angka partisipasi kasar (APK) di tingkat sekolah menengah masih sukar diatasi mengingat masih adanya perbedaan status sosial ekonomi anak dan tingkat perkembangan daerah.
Sekertaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Thamrin Kasman mengatakan, persoalan perbedaan tingkat perkembangan daerah merupakan tantangan terbesar bagi akses terhadap pendidikan menengah.
"Anak-anak dari keluarga miskin atau pedesaan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dibanding anak-anak dari keluarga yang lebih mampu," ungkap Thamrin dalam acara studi latar belakang penyusunan RPJMN Bidang Pendidikan, Jakarta, Kamis (1/10/2015).
Memahami sebab-sebab terjadinya hal tersebut di tingkat daerah, lanjutnya, merupakan langkah awal bagi penyusunan rencana strategis untuk mengatasi kesenjangan pendidikan.
Sebelumnya, keberhasilan program wajib belajar 9 tahun telah ditunjukkan dengan tingginya APK sekolah menengah pertama (SMP) tahun 2012 sebesar 98,20%, sementara itu APK tingkat pendidikan menengah atas (SMA) baru mencapai 76,01%.
Hal ini menunjukkan terdapat 22,20% lulusan tingkat SMP yang belum tertampung di tingkat SMA. Rendahnya APK pada jenjang pendidikan menengah dapat disebabkan oleh kendala geografis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Selain itu, tingginya perbedaan kualitas pendidikan yang diakses juga menjadi salah satu penyebab kesenjangan partisipasi pendidikan terutama tingkat menengah.
"Nampaknya hanya sedikit siswa terutama yang di daerah perkotaan yg dapat pendidikan pada tingkat yang diharapkan oleh Standar Nasional," paparnya.
Siswa-siswa dari keluarga miskin dari daerah tertinggal, lanjut Thamrin, mengalami kendala ganda karena kemiskinan dan hanya mendapatkan akses kepada sekolah dengan kualitas rendah.
"Bahkan jika ada sekolah yang kualitasnya lebih baik di daerahnya praktik penerimaan siswa secara eksklusif di sekolah favorit dan ada SDM yang lebih baik, lebih memilih siswa pintar dari keluarga berada," ungkapnya.
Untuk itu, perlu ada pemerataan tidak hanya di wilayah terdepan, terluar, tertinggal (3T) namun juga pemerataan pada tingkat sosial ekonomi.