Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Sosial Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi menilai penghapusan Bahasa Indonesia sebagai syarat wajib bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) oleh pemerintah bukanlah kabar gembira.
Hal ini menandakan bahwa Presiden Joko Widodo panik akibat merosotnya perekonomian di Indonesia sehingga berbagai kebijakan yang diambil berlawanan dengan nasionalisme.
"Anjuran Presiden itu menunjukkan kepanikannya menghadapi merosotnya ekonomi nasional, sehingga menempuh jalan pintas dengan menabrak rambu-rambu nasionalisme," ujarnya, Senin (24/08/2015).
Nasib ekonomi yang melemah, menurut Sigit, membuat presiden dan pemerintah terus memutar otak. Pemerintah ingin membuat kebijakan yang berpihak pada perekonomian dan menarik banyak investasi dari pihak asing. Salah satunya dengan melonggarkan kewajiban bahasa Indonesia bagi TKA.
"Ekonomi kita tengah merosot tajam dan berbagai strategi Presiden tidak kunjung membuahkan hasil. Rupiah justru menurun sampai 14.000/dolar AS. Makanya itu sebetulnya ditujukan untuk menarik investor," katanya.
Dalam Permenaker No. 16/2015 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing tidak mewajibkan pekerja asing wajib mahir berbahasa Indonesia.
Kewajiban menguasai Bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing dianggap menjadi salah satu penghambat bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di dalam negeri.