Bagaimana tidak, deretan pimpinan KPK sudah merasakan buah kriminalisasi itu. Sebut saja Antasari Azhar yang divonis menjadi otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran.
Dia dikriminalisasi setelah memenjarakan Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena terlibat dalam kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia.
Penerusnya, Abraham Samad kini menjadi pesakitan dengan tuduhan menggunakan identitas palsu. Bambang Widjojanto juga ikut dituduh memberikan kesaksian palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Minimalnya, pimpinan KPK yang dalam sejarah selalu dijabat oleh laki-laki acap kali mendapat predikat buruk setelah diisukan dekat dan menjalin hubungan ‘spesial’ dengan perempuan.
Antasari dengan Rani Juliani, caddy golf. Abraham Samad dengan Feriyani Lim. Cara-cara klise itu terbukti ampuh menggerus kredibilitas pimpinan dan lembaganya, KPK.
Pelemahan kredibilitas hingga kriminalisasi pimpinan KPK itu secara periodik muncul karena publik paham betul: uang negeri ini sudah menjadi ajang korupsi eksekutif, legislatif, dan bahkan aparat hukum lainnya.
Sebagai bukti, operasi tangkap tangan di Kabupaten Musi Banyuasin baru-baru ini yang melibatkan anggota DPRD serta kepala dinas justru memunculkan beberapa pertanyaan di kalangan pegiat antikorupsi.
Pertanyaannya, kenapa harus KPK yang harus datang dari Jakarta melakukan penangkapan? Kemana Polri dan Kejaksaan yang beroperasi juga mempunyai tugas memberantas tindak pidana korupsi? Apa juga sudah menikmati suap itu?
Pertanyaan itu, memang tidak perlu dijawab karena publik sudah tahu betul kredibilitas sepak terjang KPK, Polri, dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi di Tanah Air.
Atas dasar itu, kini publik sangat berharap pansel KPK mampu menyiapkan dengan menyelia calon pimpinan KPK yang relatif bersih dan pantang menerima ‘titipan’.
Dari ratusan pendaftar, memang bukan hal yang mudah memilih delapan nama untuk diajukan ke Presiden Joko Widodo.