Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

REVISI UU KPK: Babak Baru Ancaman Eksistensi Lembaga Antirasuah

Kekhususan lembaga pencegah dan pemberantas korupsi kembali menjadi polemik saat UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali ditinjau untuk direvisi dengan dalih harmonisasi dengan lembaga lain.
KPK/Antara
KPK/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Eksistensi lembaga pencegah dan pemberantas korupsi kembali menjadi polemik khususnya saat UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali ditinjau untuk direvisi dengan dalih harmonisasi dengan lembaga lain.

Polemik kali ini masih menyangkut hal yang sama seperti saat revisi UU KPK gagal dibahas bersama antara DPR dan pemerintah pada 2012. Polemik itu terjadi lantaran masih ada keinginan pemerintah dan DPR untuk memangkas hak-hak khusus yang dimiliki KPK seperti kewenangan penuntutan serta penyadapan.

Secara detail, revisi itu akan mengubah antara lain Pasal 12 UU KPK yang mengatur tentang wewenang penyadapan, serta Pasal 40 yang menegaskan tidak membolehkan KPK menghentikan kasus korupsi melalui mekanisme surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). 

Namun kali ini, tak lupa Menkumham Yasonna H Laoly dan DPR menambah pasal-pasal pemanis agar nuansa pelemahan lembaga antikorupsi itu tidak begitu kental. Sesuai dengan paparan Yasonna, klausul lain seperti pembentukan dewan pengawas dan penguatan internal KPK. 

Kendati ada banyak gula-gula yang dihembuskan oleh pemerintah dan DPR dalam revisi itu, poin yang paling menyita perhatian publik adalah terkait dengan penyadapan yang harus lebih dulu mendapat restu dari lembaga pengadilan. 

Secara tegas, Busyro Muqoddas yang pada periode lalu menjadi pimpinan KPK menolak revisi karena sangat berisiko melemahkan KPK.

Busyro berdalih, kewenangan penyadapan itu menjadi senjata andalan KPK untuk menjebol benteng yang dibangun legislatif dan eksekutif untuk bersama-sama menikmati uang negara. 

Sebagai contoh, kewenangan menyadap tersebut sudah berhasil membongkar beberapa kasus korupsi Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima duit Rp6 miliar dari Artalyta Suryani.

Sebenarnya tidak ada yang salah dalam penyadapan KPK karena sudah diatur dalam pasal UU KPK. Selain sudah melalui standard operating procedure (SOP), kewenangan menyadap itu juga dimiliki oleh penyidik polisi dan jaksa untuk penguatan bukti-bukti.

Ruki Ingin Koruptor "Diampuni"

Namun demikian, usulan revisi UU KPK kali ini muncul lebih seru ketika Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Taufiequrrachman Ruki memaksa KPK untuk bisa ‘mengampuni’ koruptor melalui mekanisme SP3 dengan tujuan sinkronisasi dan harmonisasi UU pemberantasan korupsi yang dimiliki lembaga lain. 

Menurutnya, KPK harus memiliki kewenangan menerbitkan SP3 dalam suatu perkara korupsi yang ditangani dengan sejumlah pertimbangan dan prosedur khusus. Dalihnya, SP3 sangat perlu untuk kasus-kasus tertentu seperti adanya tersangka korupsi yang meninggal dunia. 

Tak ayal, pernyataan Ruki tersebut mendapat kecaman serius dari sejumlah pihak. Selain Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho yang menuding Ruki terikat janji politik dengan politisi, pelaksana tugas pimpinan KPK lainnya seperti Johan Budi pun enggan mengamini pendapat Ruki. 

Menurut Johan, usulan SP3 itu murni ide atau pendapat pribadi Ruki. Tidak adanya mekanisme SP3—yang selama ini menjadi instrumen untuk bernegosiasi dengan koruptor—dianggap mampu memperkuat semangat antikorupsi dengan menuntuk KPK memberantas korupsi dengan profesional, matang, dan tidak serampangan. 

Terlepas penyadapan serta tidak adanya mekanisme SP3 yang dimiliki KPK itu dianggap menabrak sejumlah aturan dan HAM, kewenangan itu sudah memberikan nafas positif bagi pemberantasan korupsi. Buktinya, kasus yang diberkas melalui penyadapan, nyaris tidak ada yang lolos dari jeratan vonis. 

Namun demikian, adanya perbedaan pendapat yang terjadi di internal KPK tersebut, tidak ada jaminan bahwa revisi UU KPK itu bakal berjalan sesuai dengan rencana tanpa disusupi pasal-pasal tertentu yang berisiko lebih melemahkan KPK. 

Saat ini, risiko pelemahan KPK sudah ada di depan mata setelah revisi UU KPK berhasil disusupkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2015.

Apakah ini bukti bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah berhenti untuk melemahkan KPK?

Yang jelas, semakin kuat dukungan kepada KPK, semakin kuat pula semangat para elit politik dan birokrasi untuk melemahkan KPK. Karena pada dasarnya, semua yang berurusan dengan duit di negeri ini sudah menjadi ajang korupsi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper