Kabar24.com, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina, Andreas Tambah mengungkapkan, maraknya ijazah palsu di Indonesia merupakan dampak komersialsiasi pendidikan yang hanya berorientasi kepada uang.
Menurus Andreas keberadaan ijazah palsu bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Dia menyebut, ada pihak-pihak yang menyederhanakan pendidikan soal mendapatkan ijazah.
"Ijazah jadi segala-galanya. Makanya orang berani membayar sekian banyak uang untuk mendapatkan ijazah. Tujuannya dengan ijazah itu, orang akan mendapat pekerjaan yang kembali mendatangkan uang,” kata Andreas saat dihubungi Bisnis.com, Jumat (29/5/2015).
Karenanya, Andreas mengingatkan kepada masyarakat agar mempertimbangkan akreditasi perguruan tinggi sebagai acuan untuk memilih pendidikan.
“Kita bisa lihat jaminan mutu pendidikannya. Karena kalau kampus yang benar, mulai dari tahapan seleksi mahasiswa hingga keberadaan mahasiswa terpantau Dikti. Jadi jelas proses pendidikannya, tidak asal dapat ijazah,” ujarnya.
Kasus ijazah palsu itu merupakan tahap akhir dari proses pendidikan yang palsu. Meski demikian, ia menegaskan bahwa pemalsuan ijazah merupakan pelanggaran hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Itu kan hanya ujung saja, sebelumnya pasti ada ujian palsu, kartu hasil studi (KHS) palsu, nilai palsu, dan skripsi palsu. Jual beli nilai dan skripsi itu sudah menjadi rahasia umum. Makanya kalau mau benar-benar membersihkan proses pendidikan harus dari akarnya. Jangan hanya ujungnya saja," tegasnya.